PROPOSAL
METODE PENELITIAN ADMINISTRASI
“Perubahan peran badan perwakilan desa menjadi badan
permusyawaratan desa sebagai lembaga perwujudan demokrasi
di desa Rakam Kecamatan Selong Kabupaten Lombok Timur”
Disusun oleh
:
Muhammad
Irawadi Sofyan
7213063/PA
Sekolah
Tinggi Ilmu Administrasi Muhammadiyah Selong
A. Latar Belakang Masalah
Sebagian
besar masyarakat Indonesia tentunya sudah tidak asing dengan
istilah
otonomi daerah, yang pelaksanaannya menjadi salah satu tuntutan
mendasar
masyarakat sejak reformasi bergulir pada tahun 1998. Tuntutan ini
diakomodasi
oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22
Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Pada awal lahirnya undang-undang
tersebut,
yang kemudian diikuti pula oleh paket undang-undang lain yang
mendukung
pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan menjadi langkah awal yang
dapat
mengurangi beban, tanggung jawab, dan wewenang pemerintah pusat
selama ini.
Berbagai kewenangan dalam mengurus daerah akan berada di tangan lokal. Hal
tersebut juga sebagai salah satu upaya untuk mengurangi praktik otoritarian
pemerintah pusat.
Desentralisasi
dianggap menjadi sebuah solusi alternatif atas sentralisasi
kekuasaan
yang telah lama terpelihara di negeri ini. Alasan mendasar munculnya
tuntutan
untuk pemberian otonomi yang luas kepada daerah adalah agar intervensi
(campur
tangan) pemerintah pusat di masa lalu tidak terulang kembali yang
menyebabkan
rendahnya kapabilitas dan inefektivitas pemerintah daerah dalam
mendorong
proses pembangunan dan demokrasi di daerah. Seperti yang pernah
diungkapkan
oleh Shah dan dikutip oleh Mardiasmo (2002: 68), bahwa hal lain
yang menjadi
alasan munculnya tuntutan otonomi adalah untuk memasuki era
globalisasi,
pemerintah akan semakin kehilangan kendali atas banyak persoalan.
Di masa
depan pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan
kecil, tapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang
dihadapi
oleh masyarakat.
Walaupun
tujuan desentralisasi untuk mengurangi atau meminimalisir
dominasi
kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat dan lebih mendekatkan
pelayanan
kepada masyarakat, akan tetapi seperti yang disampaikan oleh Cahyono
(2005:182),
bahwa kebijakan tersebut akan percuma dilakukan jika tidak diiringi
oleh
penerapan demokrasi di lokal wilayah. Karena demokrasilah yang dianggap
menjadi
kekuatan untuk melawan praktek-praktek otoriter dan dominasi dari
negara.
Keduanya harus berjalan bersama. Demokrasi tanpa desentralisasi sama
saja membuat
hubungan yang jauh antara rakyat dan pemerintah. Sebaliknya
desentralisasi
tanpa demokrasi sama artinya dengan memindahkan korupsi dan
sentralisasi
dari pusat ke daerah.
Arus
reformasi telah membawa perubahan pada cara pandang tentang
otonomi yang
semula menjadikan sistem kekuasaan dari otoritarian dan tersentral
menuju pada
demokratisasi dan desentralisasi. Ini terlihat dari adanya keinginan
memulihkan
demokrasi dari tingkat desa dengan membentuk Badan Perwakilan
Desa (BPD)
sebagai parlemennya desa. Kelahiran BPD sedikit banyak telah
membuat
semarak proses demokrasi, terutama dalam hal proses kontrol terhadap
desa. BPD
sekaligus diharapkan dapat menjadi wahana bagi masyarakat desa
untuk
terlibat dalam proses penyelenggaraan urusan publik dan proses-proses
pengambilan kebijakan desa. Dalam
hal kontrol terhadap pemerintahan desa,
dengan
adanya BPD, struktur desa tidak lagi menempatkan kepala desa sebagai
penguasa
tunggal di wilayah desanya tanpa ada sistem pengontrol. Atau dengan
kata lain
sekarang ada pengawas yang mengontrol kerja dan kinerja dari aparat
Pemerintah
Desa, khususnya Kepala Desa.
Dengan
berlakunya UU No.22 Tahun 1999 dan terbentuknya lembaga
demokrasi
yang baru bagi desa, dalam hal ini BPD, memang memberikan harapan
akan
berjalannya prosedur demokrasi di level desa tidak hanya secara prosedural
akan tetapi
yang lebih penting adalah secara substantial. Sarana partisipasi
masyarakat
yang dulu terbatas, mulai dijalankan sehingga mulai terwujud
demokrasi
yang sebenarnya.
Akan tetapi
di sisi lain munculnya BPD sebagai lembaga yang mengawasi
eksekutif
desa, sering dipandang sebagai sebuah gangguan terhadap sistem yang
telah mapan.
Dalam hal ini, sangat dimungkinkan kepala desa belum siap untuk
diawasi,
karena setelah sekian lama semasa orde baru tidak pernah diawasi,
mengingat
ketua LMD/LKMD juga dirangkap oleh kepala desa. Hal ini
memunculkan
akibat lain yaitu adanya sejumlah potensi konflik akibat kehadiran
lembaga baru
di tingkat desa ini (Heru Cahyono,2005:345).
Kepala Desa
yang dulunya seolah begitu berkuasa dan mempunyai
kewenangan
besar tanpa ada yang berani mengkritik, kemudian dihadapkan pada
sebuah
lembaga tandingan baru yang seakan selalu mengawasi kekuasaan kepala
desa melalui
sistem kontrol yang dimiliki BPD. Hal tersebut bisa memicu
munculnya
perasaan saling curiga karena kerja yang dilakukan oleh BPD
dianggap
merecoki kewenangan Kepala Desa dan aparatnya. Sehingga relasi
tidak sehat
yang ditunjukkan antara Kepala Desa dan BPD serta ketegangan yang
diakibatkan
olehnya membawa kendala tersendiri bagi jalannya pemerintahan
desa.
Belum lagi
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru benar-benar
teraplikasi
dan menemukan bentuknya, banyak pihak yang menuntut Undang-
Undang No 22
Tahun 1999 untuk direvisi dengan alasan banyak munculnya
permasalahan.
Undang-undang tersebut dianggap telah memicu konflik
kekuasaan,
memunculkan multitafsir, serta telah melenceng dari prinsip NKRI.
Adanya
berbagai kritik tersebut direspon pemerintah pusat dengan mengeluarkan
undang-undang
baru. Peraturan yang menggantikan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999
adalah Undang-Undang No. 32 tahun 2004 masih dengan tajuk yang
sama yaitu
Pemerintahan Daerah.
Dengan
munculnya undang-undang baru tersebut tidak serta merta
membuat puas
semua pihak, bahkan sebaliknya. Ditetapkannya Undang-Undang
No. 32 Tahun
2004 telah menumbuhkan dugaan dan kecurigaan terjadinya
resentralisasi
sehingga mengancam proses desentralisasi dan demokrasi. Dalam
hal ini
paling tidak ada 7 pokok permasalahan yang diangkat oleh Warsito Utomo
(2006:60)
sebagai isu strategis atas revisi undang-undang tersebut.
8
Dari ketujuh
isu strategik tersebut yang paling akan berpengaruh terhadap
proses
berjalannya demokrasi dan desentralisasi terutama di lingkup lokal desa
adalah
masalah dihapuskannya Badan Perwakilan Desa dan diganti dengan Badan
Permusyawaratan
Desa yang peran dan fungsi kontrol terhadap pemerintahan desa
dipangkas.
Menurut Heru Cahyono (2005:180) salah satu perubahan inilah yang
paling
radikal dari direvisinya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 menjadi
Undang-Undang
No.32 Tahun 2004. Masih menurutnya, tidak dimilikinya fungsi
pengawasan
pada Badan Permusyawaratan Desa berarti meniadakan kembali
peran
politis dan kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan desa. Lebih dari
itu kepala
desa tidak bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD. Sebaliknya,
kepala desa
kembali memiliki posisi kuat, sebab ia mempunyai otoritas untuk
mengelola
keuangan desa, tanpa harus dikontrol oleh Badan Permusyawaratan
Desa ataupun
masyarakat. Hilangnya fungsi kontrol BPD akan membuat
efektivitas
lembaga tersebut menjadi sangat rendah. Berikut ini tabel yang
menunjukkan
perbedaan antara BPD (Undang-Undang No. 22 tahun 1999) dan
BPD yang
sekarang (Undang-Undang No. 32 Tahun 2004):
Tabel I
Perbedaan Badan Perwakilan Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa
Pembeda
|
Badan
Perwakilan Desa
|
Badan
Permusyawaratan Desa
|
Anggota
Fungsi
Posisi Politik
|
Dipilih
dari dan oleh
penduduk
desa yang
memenuhi
persyaratan
Mengayomi
adat-istiadat,
menampung
dan
menyalurkan
aspirasi
masyarakat,
melakukan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan
desa
Sangat
kuat.
•
Dapat
mengusulkan
pemberhentian
Kades
kepada
Bupati
•
Kepala
Desa
bertanggung
jawab
kepada
rakyat melalui
BPD
•
Bersama
Kepala Desa
menetapkan
APBD
•
Bersama
Kepala Desa
tata cara
dan pungutan
obyek
pendapatan dan
belanja
desa
|
Wakil dari
penduduk desa yang
ditetapkan
secara musyawarah dan
mufakat
Menetapkan
peraturan desa bersama
kepala
desa, menampung dan
menyalurkan
aspirasi masyarakat
Lemah
•
BAPERDES
tidak memiliki fungsi
pengawasan
•
BAPERDES
tidak dapat
mengusulkan
pemberhentian Kades
kepada
Bupati
•
Kepala
Desa tidak lagi bertanggung
jawab
kepada rakyat melalui
BAPERDES
•
BAPERDES
tidak memiliki
kewenangan
dalam pengelolaan
keuangan
desa, termasuk penetapan
tata cara
dan pungutan obyek
pendapatan
dan belanja desa
|
Perubahan
peran BPD atau kalau boleh dikatakan pemangkasan peran
BPD sebagai
lembaga pengawas pemerintahan desa serta pengambilalihan peran
pengawasan
terhadap pemerintahan desa oleh kabupaten menjadikan ancaman
terhadap
proses pembelajaran demokrasi di desa. Hal tersebut secara tidak
langsung
juga akan memungkinkan kembalinya kepala desa sebagai penguasa
tunggal di
desa walaupun secara yuridis formal kedudukan antara keduanya
adalah
sebagai mitra kerja pemerintah serta setara tidak saling membawahi.
Walaupun
terjadi berbagai kontroversi dan muncul kecemasan atas
keberlangsungan
otonomi desa kedepannya atas revisi Undang-Undang
Pemerintahan
Daerah, akan tetapi hal tersebut seakan tidak mengganggu jalannya
pemerintahan
di Desa rakam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar
belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis
memberikan
batasan penelitian melalui rumusan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana
perwujudan perubahan peran yang terjadi pada Badan
Permusyawaratan Desa rakam menurut
Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 ?
2.
Bagaimana
perwujudan pelaksanaan demokrasi masyarakat desa
Krendetan melalui Badan
Permusyawaratan Desa sekarang?
3.
Apakah yang
menjadi hambatan Badan Permusyawaratan Desa
Krendetan untuk menjalankan perannya
secara optimal?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan
Operasional
a. Dengan penelitian ini diharapkan
akan diketahui sejauh mana perwujudan perubahan peran yang terjadi pada Badan
Permusyawaratan Desa rakam.
b.Dengan penelitian ini pula
diharapkan akan diketahui perwujudan pelaksanaan demokrasi pada wilayah lokal
terutama melalui Badan Permusyawaratan Desa.
c. Dengan penelitian ini diharapkan
akan diketahui apa yang menjadi hambatan Badan Permusyawaratan Desa dalam
menjalankan perannya.
2. Tujuan Fungsional
Untuk memberikan masukan kepada
Badan Permusyawaratan Desa (Krendetan khususnya) untuk memaksimalkan peran
sebagai upaya untuk menjadi lembaga perwujudan demokrasi desa yang
sesungguhnya.
3.Tujuan Individual
a.Untuk menambah, mengembangkan pengetahuan
dan praktek
penelitian di lapangan, khususnya
dalam bidang yang penyusun
ambil, yang sangat berarti bagi
penyusun.
b.Untuk memenuhi persyaratan guna
meraih gelar sarjana pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret
Solo
D. Manfaat
Penelitian
12
1. Sebagai
aplikasi teori yang telah dipelajari tentang otonomi
pemerintahan
daerah, terkhusus pemerintahan desa, serta perwujudan
demokrasi di
desa.
2.
Dimanfaatkan sebagai bahan informasi yang dapat memberikan gambaran tentang
perubahan peran yang terjadi pada Baperdes. 3. Dimanfaatkan sebagai bahan
informasi dan acuan pihak tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi
di desa setelah adanya
perubahan
peran Badan Permusyawaratan Desa.
E. Landasan
Teori
1. Demokrasi
Jika kita
menilik sistem politik yang berkembang dimanapun saat ini, pastilah akan sangat
disepakati penerapan sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semua bangsa berlomba-lomba untuk memperoleh pengakuan dunia sebagai negara
yang dianggap paling demokratis. Satu hal yang pasti bisa kita tangkap dari
pemaknaan tentang demokrasi dari masa ke masa bahwa istilah demokrasi itu
berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat.
Semakin tinggi tingkat kompleksitas permasalahan yang ada di masyarakat, maka
semakin rumit pula pemaknaan demokrasi. Seperti yang disampaikan oleh Eep
Saefulloh Fatah (1994:5) konsep dan peristilahan demokrasi ditumbuhkan pertama
kali dalam praktik negara-kota Yunani-Athena (450 SM dan 350 SM). Pericles,
seorang negarawan Athena, mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa
kriteria : (a)
13
pemerintahan
oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langung; (b)
kesamaan di
depan hukum; (c) pluralisme-penghargaan semua bakat, minat, keinginan, dan pandangan;
(d) penghargaan terhadap suatu pemisahan wilayah pribadi untuk memenuhi dan
mengekspresikan kepribadian individual. Jika akan diartikan secara etimologis,
demokrasi berasal dari kata ‘
demos’
yang berarti
rakyat dan ‘
kratos’
yang berarti
pemerintahan dan dapat dirumuskan sebagai pemerintahan rakyat atau dengan
ungkapan lain “kekuasaan di tangan rakyat”. Pemaknaan demokrasi tidak hanya
terbatas sampai hal tersebut. Pemaknaan yang lebih luas dan lebih populer
adalah seperti yang pernah
disampaikan
oleh Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, yang mengartikan
demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jadi
dapat dikatakan bahwa tidak akan pernah demokratis pemerintahan yang
mendominasi negara atas rakyatnya sendiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Samuel
P. Hutington dalam bukunya yang
berjudul
The Third
Wave: Democratization in the Late Twentieth Century dan
dikutip oleh
J. Mardimin (2002:4), memunculkan tiga pendekatan umum demokrasi. Sebagai
sebuah sistem politik, demokrasi telah didefinisikan berdasarkan sumber
wewenang bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan prosedur
untuk membentuk pemerintahan. Dari sisi pendekatan prosedur untuk membentuk
pemerintahan, demokrasi dipahami sebagai suatu tatanan politik dimana posisi
pembuat keputusan ditentukan oleh rakyatnya. Dari pengertian tersebut ada satu
hal lagi yang menjadi sangat penting pula dalam
kaitannya
dengan demokrasi yaitu partisipasi dari masyarakat.
Satu point
penting yang lain adalah seperti yang pernah dikemukakan oleh
Eep
Saefulloh Fatah dalam bukunya Masalah dan Prospek Demokrasi di
Indonesia,
bahwa ada paling tidak empat kriteria pokok yang menjadi ukuran
minimal dari
sebuah praktik politik demokrasi yang harus dipenuhi yaitu :
a.Partisipasi
politik yang luas dan otonom
Praktik
politik demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi politik yang
otonom dan
partisipasi politik yang luas dalam arti tidak ada pembatasan
dalam
penentuan sumber dan rekruitmen politik dan tidak ada pula eksklusivitas dalam
formulasi kebijakan politik.
b.Sirkulasi
Kepemimpinan Politik Secara Efektif dan Kompetitif Praktik demokrasi
mensyaratkan adanya jaminan mekanisme sirkulasi kepemimpinan politik yang
diadakan secara berkala, selektif, kompetitif, dan melibatkan seluruh elemen
masyarakat dalam prosesnya.
c.Kontrol
Terhadap Kekuasaan yang Efektif Persyaratan praktik demokrasi yang lain yang
tidak kalah pentingnya adalah adanya kontrol yang efektif terhadap keku saan.
Kontrol terhadap kekuasaan ini dinilai efektif manakala ia dijalankan baik oleh
kelembagaan
politik
formal semacam parlemen atau legislatif dan yudikatif, serta kelembagaan
politik di tingkat infrastruktur (semacam media massa, partai politik, dan
lain-lain). Di samping itu masyarakat secara perorangan dan kelompok juga
diberi keleluasaan untuk mengontrol kekuasaan.
d. Kompetisi
Politik yang Leluasa
Kriteria
terakhir dari demokrasi adalah adanya kompetisi antar elemen masyarakat, elemen
masyarakat dengan elemen negara, antar elemen, secara leluasa dan sehat. Dalam
hal ini, perbenturan kepentingan dan nilai politik dimungkinkan terjadi sejauh
tidak menjadikan kehancuran bagi sistem politik.
Dari
beberapa pengertian tentang demokrasi diatas, dapat diketahui bahwa
prinsip
utama yang mendasari ide demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Tetapi untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat memerlukan dukungan dari prinsip-prinsip lain
seperti: konstitusionalisme, jaminan kebebasan sipil, asas mayoritas,
pemerintah yang berdasar undang-undang, dan aparat yang bertanggung jawab.
Tanpa itu demokrasi yang sesungguhnya secara substansial akan sulit tercapai
(Mardimin,2002:6).
Satu lagi
hal yang penting juga untuk dipahami adalah bahwa demokrasi merupakan sebuah
cara atau proses, bukan sebuah tujuan. Manakala demokrasi diposisikan sebagai
sebuah tujuan maka bukan tidak mungkin cara untuk mencapai tujuan tersebut
adalah dengan pemaksaan, intimidasi, represif dari pihak-pihak yang
berkepentingan terhadapnya. Seperti yang disampaikan pula oleh Schumpeter’s
yang dikutip oleh Carole Pateman (Carole Pateman, 2009), “Schumpeter’s analysis
is an attack on the notion of democratic theory as
a theory of
means and ends : Democracy is a political method, that is to say, a certain
type of institutional arrangement for arriving at political – legislative and
administrative – decisions. In so far as one expressed un compromising
allegiance to democracy thus was because one expected the
method to
further other ideals, for example justice.” Salah satu pilar demokrasi yang
sangat populer dan banyak diterapkan dalam mekanisme sistem pemerintahan
negara-negara penganut paham ini adalah
prinsip
trias politica
Prinsip ini
membagi kekuasaan politik negara menjadi tiga
bagian yang
saling terpisah yaitu : eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga
konsep ini
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga yang saling lepas (independen)
dan berada
dalam tingkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan
independensi
ketiga jenis lembaga ini diperlukan agar ketiganya bisa saling
mengawasi
dan saling mengontrol berdasarkan prinsip
checks and
balances
. Ini
adalah salah
satu bentuk demokrasi yang ditawarkan oleh Montesqiueu dan
agaknya
konsep inilah yang masih banyak digunakan negara dalam mekanisme
sistem
pemerintahannya. Di Indonesia konsep ini juga diterapkan pada tingkat
tataran
pemerintahan terkecil yaitu desa.
Dalam sebuah
teori politik, keberadaan dan kemapanan demokrasi di
tingkat
nasional sangat ditentukan oleh keberadaan dan kemapanan demokrasi di
tingkat
lokal. Leo Agustino (2005:185) yang mengambil pendapat dari Tip
O’Neill juga
menyebutkan bahwa ”
all politics
is local
” yang
dimaknai bahwa
demokrasi ditingkat
nasional akan tumbuh berkembang dengan mapan dan
dewasa
apabila pada tingkat lokal nilai-nilai demokrasi berakar dengan baik terlebih
dahulu. Artinya, demokrasi di tingkat nasional akan bergerak ke arah yang lebih
baik apabila tatanan, instrumen, dan konfiguras kearifan lokal serta kesantunan
politik lebih dulu terbentuk. Sedangkan lokal sendiri mengacu kepada ’arena’
tempat praktek demokrasi itu berlangsung, yaitu pada entitas politik yang
terkecil yaitu desa.
Sedangkan
menurut Kutut Suwondo (2002:153) untuk mengembangkan emokratisasi di aras desa
paling tidak ada lima prinsip kegiatan yang harus terpenuhi, antara lain:
a.Pengembangan
Sistem dan Struktur Politik Lokal David Easton menegaskan, bahwa bagi dia,
sistem politik lebih merujuk kepada suatu penggambaran proses komunikasi
penyampaian aspirasi dari rakyat kepada pengambil kebijakan dan arus informasi
kebijakan
kepada rakyat ketimbang menggambarkan struktur dan elemen-elemen mati yang
menyusun sistem politik. Namun, Parson lebih cenderung untuk menggambarkan
sistem politik sebagai suatu kaitan antar unsur atau elemen politik yang saling
berkaitan secara
fungsional.
Sedangkan struktur politik adalah unsur-unsur kelembagaan yang saling berkaitan
secara fungsional.
b.Pengembangan
Mekanisme Kontrol dari Rakyat Pada masa orde baru posisi negara sangat kuat
(strong state), sebaliknya pada era reformasi negara menjadi terlalu lemah
(weak
state) dan
posisi rakyat menjadi semakin kuat, bahkan begitu kuatnya seringkali
menyebabkan munculnya tindakan yang bersifat anarkis. Kekuatan rakyat inilah
yang seharusnya diarahkan kepada bentuk partisipasi politik. Salah satu bentuk
partisipasi nyata yang bisa dilakukan oleh masyarakat desa dimanifestasikan
dalam BPD. Salah satu asosiasi lokal formal inilah yang dipercaya untuk
melakukan kontrol terhadap sistem politik, pemerintahan, dan pembangunan lokal.
c.Pengembangan
Pertanggungjawaban Pemerintahan Desa Dengan diberlakukannya Undang-Undang
Otonomi Daerah dan sejumlah Peraturan Daerah yang menyangkut Otonomi Desa,
secara konstitusional aspek pertanggungjawaban pemerintahan daerah (desa)
sudah
terjamin akan dilaksanakan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana pelaksanaan pertanggungjawaban tersebut di lapangan?
d.Pengembangan
Kesadaran Politik Masyarakat Dalam rangka untuk menumbuhkan semangat
demokratisasi, maka usaha terus-menerus untuk mengembangkan kesadaran dan
pemberdayaan
masyarakat perlu dilakukan. Usaha untuk memberdayakan masyarakat dan
mengagendakan program pemberdayaan tersebut bisa disebut sebagai usaha untuk
memberdayakan
masyarakat yang pada akhirnya mampu mengembangkan proses demokratisasi ke arah
yang benar.
e.Pengembangan
Kerja sama, Koordinasi, dan Pendapatan Asli Daerah Keberhasilan demokratisasi
desa tidak akan lengkap tanpa adanya otonomi desa. Oleh sebab itu demokratisasi
desa harus disertai dengan proses otonomi desa. Yang perlu diperhatikan adalah
makna otonomi desa. Otonomi desa bukan bermakna adanya kemandirian desa
(otonomi)
yang terlepas dari koordinasi pihak atas desa dan kerja sama dengan pihak luar,
namun tetap harus terlibat adanya kerja sama 19 dengan pihak-pihak lain (baik
pengusaha, birokrat, atau masyarakat luar desa) dan tetap dalam wadah
koordinasi pihak atas desa.
2. Sistem
Perwakilan Politik
Perwakilan
politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara
jauh sebelum munculnya teori-teori perwakilan. Perwakilan politik telah lahir
dan dilaksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu, mulai dari
zaman Yunani kuno, Romawi dan Zaman Islam pada saat kerasulan Muhammad SAW.
Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang disebut polis,
dimana konsep perwakilan saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah
masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas. Begitu
juga pada zaman Romawi kuno. Pada zaman Nabi Muhammad SAW konsep perwakilan
telah lama dikenal dengan sebutan Ulil Amri(pemimpin yang menjadi wakil),
dimana saat itu telah ada konsep perwakilan yang merumuskan berbagai persoalan
bangsa. Baik zaman Yunani, Romawi, maupun zaman Nabi Muhammad konsep perwakilan
masih dilaksanakan secara langsung, dimana mereka yang menjadi wakil dipilih
langsung melalui musyawarah mufakat. Konsep perwakilan demokrasi) langsung yang
dulu pernah diterapkan, oleh beberapa pakar kenegaraan seperti Rousseau masih
ingin dipertahankan.
Akan tetapi
karena faktor-faktor luas wilayah suatu negara, populasi penduduk yang selalu
bertambah, makin sulit dan rumitnya masalah politik dan kenegaraan 20 menjadi
kendala untuk melaksanakan demokrasi secara langsung. Sebagai ganti dari
gagasan Rousseau maka muncullah demokrasi tidak langsung (indirect democracy),
yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang lebih dikenal dengan
parlemen. Beberapa variasi pemikiran tentang perwakilan yang pernah muncul di
dunia salah satunya di sampaikan oleh John Locke dalam bukunya Two Treatise on
Goverment, manusia-manusia pastilah memiliki berbagai macam kepentingan dan
aspirasi kehidupan yang perlu disampaikan, termasuk melindungi dirinya.
Dalam jumlah
yang besar, maka tidak akan mungkin menyampaikan aspirasi tersebut secara satu
persatu. Manusia-manusia membentuk ‘masyarakat’ (society)yang dibentuk
berdasarkan perjanjian bersama. Kekuasaan masyarakat adalah supreme of
power.Kekuasaan politik yang diwakilkan kepada supreme of poweradalah
berdasarkan kepada kepercayaan, basis utamanya adalah kepercayaan rakyat
terhadap penguasa untuk melindungi rakyat.
Sementara
seperti yang disampaikan oleh Hanna P. Pitkin mendefinisikan perwakilan politik
sebagai proses mewakili dimana wakil bertindak dalam rangka bereaksi kepada
kepentingan terwakil. Walau wakil bertindak secara bebas tapi harus bijaksana
dan penuh pertimbangan.
Seperti juga
yang disampaikan oleh Andi Hari dalam makalahnya “Dibalik Optimisme Perwakilan
Politik”, setiap wakil hendaknya memenuhi kualifikasi tertentu yang akan
menjamin terlaksananya fungsi perwakilan. Setiap wakil sudah pasti diuntut
mempunyai kemampuan yang akan diperkirakan dan diharapkan dapat dimanfaatkan
untuk melayani tugas perwakilan. Biasanya wakil ditunjuk oleh pihak yang
diwakili dalam hal mencari wakil yang diperkirakan terbaik, maka pihak yang
diwakili memilihnya diantara orang yang dianggap mempunyai potensi untuk
menjadi wakilnya. Sementara dalam sistem demokrasi modern yang sedang bekembang
seperti sekarang, keberadaan lembaga perwakilan sebagai prasyarat demokrasi
tidak hanya berhenti pada ukuran keberadaan kelembagaannya saja, namun jauh
lebih penting menekankan pada tingkat dan kualitas keterwakilan lembaga
tersebut.
Kualitas keterwakilan tersebut akan ditentukan oleh sejauhmana lembaga
perwakilan
politik tersebut menjalankan fungsi-fungsi utamanya sebagai
perwakilan
politik rakyat.
Akan tetapi ada pandangan lain dari
Andrew Rehfeld (2005:4) “Representation increases the distance between citizen
and the concerns of their representative and it also limits the number of
virtue of the proposed institution or practice, that it publicly known and that
is ustifications are at least accessible if not in fact known to all citizens”.
Sementara menurut Michael Koplinka-Loehr (2009) untuk benar-benar bisa
menerapkan demokrasi perwakilan, “
We expect
and deserve representation
from
citizens with backgrounds that reflect diversity of the community”. Akan
tetapi untuk
mencapai itu semua, masih menurut Koplinka ada kompensasi yang harus
dikeluarkan, “Basic compensation trully allows acces for any citizens to serve,
regardless of station in live or economic background. A principle of fairness
we each have held as fundamental since our primary civic lessons”. Di lain sisi
secara konseptual seperti yang disampaikan oleh Ari Dwipayana dalam modul
makalahnya, parlemen memiliki tiga fungsi utama; legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Ketiganya ditopang oleh fungsi lain yaitu
fungsi
artikulasi dan agregasi kepentingan serta komunikasi politik. Walaupun kelima
fungsi tersebut bekerja dengan cara dan ruang lingkup yang berbeda, namun
kelima fungsi tersebut mempunyai kaitan yang erat satu sama lain.
Dapat
dijelaskan bahwa dalam menjalankan fungsi pengawasan, parlemen
menerima
amanat publik untuk memastikan implementasi kebijakan yang dijalankan oleh
pemerintah akan mengacu pada kepentingan publik. Demikian pula ketika parlemen
harus menjalankan fungsi legislasi dan anggaran. Kedua fungsi tersebut akan
menghasilkan kebijakan yang lebih efektif apabila parlemen mampu menjalankan
pengawasan dengan baik. Dengan demikian, dalam menjalankan fungsi pengawasan
dapat dilakukan dengan mengajukan dan menyetujui kebijakan tertentu sehingga
pemerintah harus menjalankan kebijakan berdasarkan kebijakan yang sudah
disetujui oleh parlemen.
3. Desa
Pemaknaan
tentang desa sendiri juga tidak kalah luas seperti halnya
pemberian
makna demokrasi. Mengenal istilah desa sebenarnya berasal dari
bahasa India
swadesiyang
berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang
merujuk pada satu kesatuan hidup dengan kesatuan norma serta memiliki batas
yang jelas (Yayuk dan Mangku, 2003). Sedangkan desa dalam arti umum diartikan
sebagai pemukiman manusia yang letaknya diluar kota dan penduduknya
bermatapencaharian di bidang agraris. Desa dalam arti lain adalah bentuk
kesatuan administratif yang disebut juga kelurahan, lalu lurahlah yang menjadi
kepala desa.
di sektor
pertanian. Bahkan terdapat kesan kuat, bahwa pemahaman secara umum
desa adalah
sebagai tempat bermukim para petani. Dalam pengertian sosiologis, desa
digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masayarakat atau komunitas penduduk
yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan
corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam
(Maschab,1992). Lebih jauh Maschab menyebutkan bahwa dalam pengertian
sosiologis desa diasosiasikan
dengan suatu
masyarakat yang hidup sederhana, pada umumnya hidup dari lapangan pertanian,
ikatan sosial, adat dan tradisi masih kuat, sifat jujur dan
bersahaja,
pendidikan relatif rendah, dan sebagainya.
Sementara
dilihat dari sudut pandang hukum dan politik, yang lebih
menekankan
pada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan
masyarakat,
desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana
bertempat
tinggal suatu masyarakat yang berkuasa (memiliki kewenangan)
mengadakan
pemerintahan sendiri (Kartohadikusumo, 1984:16). Pengertian ini
sangat
menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi
kepentingan
penduduk. Dari pengertian ini terdapat kesan kuat bahwa
kepentingan
dan kebutuhan masyarakat desa, hanya bisa diketahui dan disediakan
oleh
masyarakat desa, bukan paihak luar.
Sementara
jika dilihat dari aspek historis sebenarnya bisa dikatakan bahwa daerah desa
adalah daerah otonom yang paling tua, sehingga seharusnya ia mempunyai hak
otonomi penuh. Pada jaman dahulu desa merupakan suatu kebulatan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga hukum yang dinamakan ’rapat desa’.
Menurut Soetardjo Kartohadikusumo dalam bukunya yang bertajuk Desa
(1984:193-200) mengemukakan bahwa yang memegang kekuasaan tertinggi pada suatu
desa adalah rapat desa. Rapat desa adalah sebuah majelis yang menurut hukum
adat biasanya disusun dari berbagai golongan
penduduk
yang berhak hadir dan memberi suara dalam rapat desa. Secara lebih
terperinci
unsur penyusun rapat desa adalah sebagi berikut:
Pertama
: kepala
desa sebagai ketua
Kedua
: para kaki,
tua-tua desa, pinitua, Dewan Morokaki
Ketiga
: parentah
desa (pamong desa)
Keempat
: warga desa
Kelima
: bekas
kepala desa (yang berhenti dengan hormat)
Keenam
:
orang-orang penting (kyai, guru agama, dan sebagainya)
Rapat desa
ini sendiri mempunyai 3 macam fungsi, yaitu :
a.menjadi
dewan penasehat bagi kepala desa dan pamong praja
b.menjadi
dewan legislatif yang berkuasa menetapkan peraturan-
peraturan,
anggaran belanja desa, dan sebagainya
c.memberi
persetujuan kepada kepala desa untuk mengambil suatu
putusan,
sebab persetujuan tidak akan sah jika tidak dengan
persetujuan
rapat desa.
Sedangkan
kepala desa beserta perangkatnya berperan sebagai badan eksekutif
atau
pelaksana yang bertugas menjalankan semua putusan dan peraturan desa. Sementara
yang mempunyai peran sebagai badan peradilan (yudikatif) dan sesekali menjadi
dewan pertimbangan adalah Dewan Morokaki.
Badan ini bertugas untuk memutus segala
perselisihan antara desa dan penduduk atau antar penduduk secara perorangan dan
juga mengawasi jalannya pelaksanaan hukum
adat.
Anggota Dewan Morokaki sendiri adalah mereka yang dulu ikut mengukur
tanah dan
mengadakan peraturan, pembagian air, atas dasar hak kuasa desa, dalam
hal urusan
tanah dan pengairan. Sementara mereka sudah tidak punya kepentingan
lagi dalam
hal urusan tanah dan pengairan, karena sudah mereka wariskan,
sehingga
merekalah yang dianggap tepat sebagai orang-orang yang dapat
memegang
keadilan yang tidak berat sebelah.
Paska
kemerdekaan, pengaturan lebih lanjutnya justru menunjukkan tidak
dihargainya
eksistensi desa sebagai wilayah yang mempunyai otonomi asli.
Dimulai dari
Undang-Undang No 22 Tahun 1948 yang menempatkan desa
sebagai
bagian dari sistem pemerintahan yang dibangun dalam struktur
pemerintahan
hierarkis. Kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya Undang-
Undang No 19
Tahun 1965 yang memunculkan keinginan untuk menyeragamkan
istilah desa
(IRE, 2004).
Pada masa
Orde Baru pengintegrasian desa sebagai subsistem dari negara
dimantapkan
dengan keluarnya Undang-Undang No 5 Tahun 1979. Berdasar
undang-undang
tersebut, pemerintahan desa yang benar-benar diseragamkan dan diletakkan pada
posisi terbawah menjadi bagian dari sentralisasi kekuasaan untuk mencapai
tujuan pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini menandakan
desa harus mutlak patuh dan tunduk pada kekuasaan pusat. Apa yang dianggap baik
oleh pusat, secara otomatis berarti baik bagi desa. Hal tersebut akhirnya
menyumbat kreativitas masyarakat untuk mengelola desanya dan tentu saja
masyarakat juga kehilangan momentum untuk berpartisipasi dan ambil bagian dalam
menentukan nasib dan bentuk desanya. Pengertian-pengertian dan gambaran diatas
pada dasarnnya mengarah pada penyebutan karakteristik yang sebagian menjadi
ciri dari desa tradisional. Desa masa kini pada dasarnya telah mengalami
sejumlah perubahan, sejalan dengan tuntutan perubahan jaman . Banyak kekuatan
luar yang masuk, misal dalam bentuk industrialisasi. Di saat itulah desa
bergerak mencapai tingkat ’kemajuan’ tertentu.
Pengertian
tentang desa juga tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga
Peraturan
Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Desa :
”
Desa atau
yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
.”
Untuk
sekarang ini desa bukanlah lagi menjadi bawahan kecamatan,
karena
kecamatan merupakan bagian dari kabupaten/kota, dan bukan merupakan
bagian dari
perangkat daerah. Berbeda dengan kelurahan, desa memiliki hak
mengatur
wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa
dapat
ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan. Di bawah ini akan disebutkan
beberapa
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa yang mencakup :
a.urusan
pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa
b.urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yan
diserahkan
pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan
yang secara
langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat
c.tugas
pembantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi, dan/atau
pemerintah
kabupaten/kota
d.urusan
pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan
kepada desa
penyelenggaraan
pemerintahan desa merupkan bagian dari Pemerintahan Daerah,
dan
pemerintahan desa merupakan garda terdepan dalam memberikan pelayanan
kepada
masyarakat, serta menjadi tonggak strategis untuk keberhasilan seluruh
program dari
pemerintah. Hal tersebut akan benar-benar terwujud jika desa
mampu
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan semestinya. Di
desa sendiri
ada dua penyelenggara pemerintahan desa yang mengatur dan
mengurus
kepentingan masyarakat setempat yaitu Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa.
a.Pemerintah
Desa
Pada bagian
kedua, bab yang mengatur tentang desa dari pasal 202 Undang-Undang No 32 Tahun
2004 menyebutkan bahwa pemerintah desa terdiri atas kepala desa beserta
perangkatnya. Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan
Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Perangkat
desa sendiri terdiri atas sekretaris desa, kepala-kepala urusan, pelaksana
urusan, dan kepala dusun. Kepala-kepala urusan membantu sekretaris desa
menyediakan data dan informasi dan memberi pelayanan. Kepala urusan yang
bertanggung jawab kepada sekretaris desa ini melaksanakan urusan antara lain
pemerintahan, pembangunan, dan
administrasi.
Pelaksana urusan adalah pejabat yang melaksanakan urusan rumah tangga desa atau
teknis di lapangan, seperti urusan air, urusan agama Islam, dan lain-lain.
Kepala dusun berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas atau wakil kepala desa
di wilayah kerjanya. Sedangkan sekretaris desa adalah staf yang memimpin
sekretariat desa. Sekretaris desa bertugas membantu kepala desa di bidang
pembinaan administrasi dan memberikan
pelayanan
teknis administrasi kepada seluruh perangkat pemerintah desa. Kedudukan sekretaris
desa diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan.
Pemerintah Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa mempunyai tugas
pokok :
(1)Melaksanakan urusan rumah tangga
desa, urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan masyarakat
(2)Menjalankan tugas pembantuan dari
pemerintah, pemerintah
provinsi,
dan pemerintah kabupaten.
Untuk
menjalankan tugas pokok tersebut pemerintah desa mempunyai
fungsi:
(1)Penyelenggaraan
urusan rumah tangga desa
(2)Pelaksanaan tugas di bidang
pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan yang menjadi tanggung jawabnya
(3)Pelaksanaan
pembinaan perekonomian desa
(4)Pelaksanaan
pembinaan partisipasi dan swadaya gotong royong masyarakat
(5)Pelaksanaan
pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat
(6)Pelaksanaan
musyawarah, penyelesaian perselisihan masyarakat desa
(7)Pelaksanaan
tugas yang dilimpahkan kepada pemerintah desa.
b.Badan
Permusyawaratan Desa
Penjelasan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa
sebagai
perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa
maka
dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau dengan sebutan lain yang
sesuai
dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi
sebagai
lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa,
seperti
dalam pembuatan dan pelaksanaan Perdes, APBDes, dan Keputusan
Kepala Desa.
Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang mengatur tentang desa, bahwa
Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disingkat BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
desa. Lembaga ini dapat dianggap sebagai ”perlemennya” desa. Anggota BPD adalah
wakil dari penduduk desa yang
bersangkutan
yang berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah
untuk mufakat. Masih dalam Peratutan Pemerintah ini, pasal 30 (2) menyebutkan
bahwa anggota BPD terdiri atas ketua rukun warga, pemangku adat, golongan
profesi, pemuka agama, dan tokoh atau pemuka masyarakat lain. Masa jabatan
anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat atau diusulkan kembali untuk satu
kali masa jabatan berikutnya.
Pimpinan dan
anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatn sebagai kepala desa dan/
perangkat desa. BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa dan
menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat.
Wewenang BPD
antara lain :
(1)Membahas
rancangan peraturan desa bersama kepala desa
(2)Melaksanakan pengawasan tehadap
pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa
(3)Mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian kepala desa
(4)Membentuk
panitia pemilihan kepala desa
(5)Menggali, menampung, menghimpun,
merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Pada saat
itu, pemerintah kolonial menempatkan pemerintahan desa
sebagai
instrumen yang menjalankan kepentingan pemerintah kolonial.
Pemerintahan
Belanda mengatur desa-desa dengan mengeluarkan
Inlandsche
Gemmeente
Ordonantie
/ IGO
(IRE,2004:23). Pemerintahan desa diperkenankan
eksis,
memiliki alat-alat pemerintahannya sendiri serta mengatur kepentingan
wilayah.
Masing-masing wilayah tersebut juga memiliki pengaturan hak ulayat
atau hak
wilayah. Sedangkan Badan Perwakilan Desa pada masa itu dinamakan
Dewan
Desa/Marga. Pemerintah Desa/Marga didampingi oleh Dewan
Desa/Marga
yang berfungsi sebagai lembaga pembuat peraturan-peraturan dalam
rangka
kewenangan menurut hukum adat (Abdul Hakim dan Endah
Setyowati,2005).
Namun penguasa desa pada masa itu diformat sebagai agen
pemerintahan
Belanda dalam menjalankan kepentingannya.
Sementara
untuk sekarang di dalam Undang-Undang Pemerintahan
Daerah,
pemerintah telah memberikan kesempatan dan kewenangan kepada
pemerintahan
lokal utuk mengurus dan melaksanakan pemerintahannya sesuai
dengan
potensi lokal yang ada, termasuk dalam hal ini adalah pemerintahan
terkecil,
desa. Atau dengan kata lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
mengakui
adanya otonomi desa.
Sementara
pengertian tentang kewenangan suatu daerah hukum yang
dilukiskan dengan
istiah asing ’
otonomi
’, yang
dalam bahasa Indnesia berati hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri, dalam hukum adat sendiri sebenarnya tidak dikenal bangsa Indonesia.
Pengertian tentang otonomi desa diciptakan oleh bangsa Belanda, pada waktu
mereka masih berkuasa di Indonesia.
Hukum adat
mengatur segenap kehidupan rakyat di desa. Peraturan tersebut tidak
memisahkan
peraturan yang mengatur hubungan antara orang sebagai perorangan dengan
peraturan yang mengatur desa sebagai daerah hukum, serta peraturan yang
mengatur kepercayaan. Ini merupakan suatu rangkaian peraturan yang saling
terkait, tidak mungkin terpisahkan satu dengan yang lain. Baru pada tahun 1817,
Letnan Gubernur Jendral Raffles mengatakan bahwa desa-desa di Pantura, Pulau Jawa
menjalankan hak otonomi penuh dan
berkuasa
memilih kepalanya sendiri. Dalam pengertian otonomi tersebut, maka desa di
Indonesia sebagai daerah hukum yang paling tua menjalankan otonomi yang sangat
luas, lebih luas dari otonomi daerah hukum diatasnya yang menyusul kemudian
(Soetardjo Kartohadikoesoemo,1984:282). Jadi jelas, bahwa sebenarnya isi
otonomi desa menurut hukum adalah sangat luas. Akan tetapi sejak pemerintahan
pusat dan pemerintahan daerah jaman Belanda sampai sekarang lebih banyak ikut
campur dalam mengurus rumah tangga desa, maka terjadilah pembatasan dalam
otonomi desa.
Jadi
sebenarnya daerah hukum desa mempunyai hak sepenuhnya untuk menentukan hidup
matinya desa mereka. Secara otomatis pula bahwa desapun mempunyai hak untuk
menetapkan wilayah dan batas daerahnya sendiri. Akan tetapi, setelah otonomi
desa diberi dasar hukum dalam ’Regeringsreglement’pada tahun 1854, pemerintahan
Belanda lebih banyak campur tangan dalam pemerintahan desa dan sayangnya hal
tersebut masih banyak berjalan hingga sekarang.
Perjalanan
proses penerapan otonomi desa dari masa ke masa mengalami pasang surut dan
dinamika tersendiri, salah satu yang mempengaruhi adalah rezim pemerintah yang
berkuasa pada saat itu. Seperti yang berjalan selama ini, masyarakat seringkali
terkecoh dengan pemaknaan dan pelaksanaan otonomi. Di era Orde Baru, meskipun
proses erencanaan pembangunan seolah dibuat dari bawah atau bottom up
,
namun hal
tersebut hanyalah sekadar formalitas untuk menyenangkan masyarakat bawah. Akan
tetapi secara substansi partisipasi masyarakat dalam masyarakat dipinggirkan
dan diganti dengan paket pembangunan yang telah dikemas oleh
pemerintah.Pemerintahan Orde Baru yang mengatur desa dengan dasar Undang-Undang
No 5 Tahun 1979 enempatkan desa dengan konsep sebagai ’suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk
didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan
langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Kemudian konsep yang
erkembang tentang desa pada masa itu, desa merupakan konsepsi dalam pengertian
administratif (Sutoro Eko,2008). Desa dalam pengertian administratif merupakan
satuan ketatanegaraan
yang terdiri
atas wilayah tertentu, suatu satuan masyarakat, dan suatu satuan pemerintahan,
yang berkedudukan langsung dibawah kecamatan. Selain menempatkan desa dalam
pengertian administratif, Undang-Undang No 5 Tahun
1979 juga
telah melakukan perubahan-perubahan struktur desa, yaitu:
a.penyeragaman
struktur pemerintah desa
b.pengintegrasian
struktur pemerintah desa pada pemerintah pusat.
Menempatkan
pemerintah desa sebagai rantai akhir dan terbawah dari
sistem
birokrasi pemerintah yang sentralistik. Ini menjadikan desa
menjadi
kepanjangan tangan pemerintah pusat
c.penghapusan
lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa
pada kepala
desa (Sutoro Eko,2008).
Sementara
pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 mengandung semangat mengakhiri
sentralisasi serta mengembangkan desa sebagai wilayah otonom. Hal ini terlihat
dari pertama, keinginan untuk mendudukkan kembali desa terpisah dari jenjang
birokrasi pemerintah. Kedua, memulihkan demokrasi di tingkat yang paling rendah
dengan pembentukan Badan Perwakilan Desa (Sutoro Eko,2008). Salah satu ukuran
keberhasilan pelaksanaan otonomi desa adalah pemerintah desa semakin mampu
memberikan pelayanan kepada masyarakatnya
dan mampu
membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan
terselenggaranya otonomi desa, maka hal tersebut akan menjadi pilar
penting
suksesnya penyelenggaraan otonomi daerah. Seperti yang disampaikan Laili
Khairnur, Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan, dalam makalahnya yang bertajuk
’Wujudkan Otonomi Desa!’: ”Otonomi desa yang ideal meliputi tiga aspek, yakni
desentralisasi dalam hal kewenangan, desentralisasi dalam hal keuangan, dan
desentralisasi
dalam hal
pembangunan. Artinya desa secara otonom mempunyai kewenangan penuh untuk
megelola tata pemerintahannya. Kemudian desa juga punya kewenangan untuk
mengelola keuangan yang dimiliki, baik dari PADes maupun hak desa dari Alokasi
Dana Desa, pajak, sumber daya alam yang ada di desanya dan sebagainya. Kemudian
secara otonom desa
juga akan
melakukan pembangunan untuk wilayahnya, terutama untuk melakukan pemberdayaan
dan perencanaan desa. Semua itu harus dilakukan tanpa intervensi dari pihak
supra desa.” Akan tetapi bukan berarti otonomi desa tersebut lepas begitu saja
tanpa kontrol dari pemerintah. Dalam hal ini konteks Menurut Sutoro Eko
(2005:159-160) desentralisasi menganjurkan adanya fasilitasi dan supervisi dari
pemerintah supra desa.
Fasilitasi
adalah sebuah langkah untuk memudahkan dan memberikan tuntunan dan pembinaan
bagi desa. Atau bisa dikatakan bahwa fungsi dari pemerintah disini adalah
sebagai fasilitator, termasuk dinas dan instansi yang berada di wilayah daerah
bukan lagi sebagai pelaksana proyek, karena masyarakat setempat sendiri yang
akan menjadi perencana, pelaksana, dan pengawas pembangunan yang berlangsung.
Sementara supervisi identik dengan kontrol yang berupaya untuk menjaga agar
pelaksanaan otonomi desa bisa sesuai dengan yang semestinya. Supervisi disini
bisa berupa tindakan memantau, mengevaluasi, dan
memperbaiki.
Hal ini akan semakin mendekatkan pada proses demokrasi, karena
masyarakat
akan langsung belajar bagaimana mengurus wilayah sendiri dengan
kewenangan
yang dimiliki.
Dari kondisi
diatas ada sejumlah hal penting mengapa kita harus melakukan pembaruan kultur
dan tentu struktur politik serta mendorong desentralisasi dan otonomi desa.
Pertama
, secara
historis desa-desa (atau dengan sebutan lain) telah lama eksis di Indonesia
sebagai kesatuan masyarakat hukum atau self governing communityyang memiliki
sistem emerintahan yang berdasarkan karakteristik lokal. Meski bersifat
tradisional, pemerintah desa
senantiasa
mengedepankan kemandirian, keteraturan, dan keseimbangan
hubungan
sosial dan alam, serta kebersamaan. Kedua, sebagian besar masyarakat Indonesia
bertempat tinggal di desa. Ini menunjukkan bahwa desa menjadi basis penghidupan
sebagian besar rakyat Indonesia dan desa menjadi komunitas hidup bagi
masyarakat
grass roots
(Sutoro Eko, 2005:XVII-XVIII).
F. Kerangka Pikir
Otonomi
daerah atau yang juga biasa dimaknai sebagai kemandirian daerah sebenarnya
sudah punya cikal bakalnya sejak beberapa dasawarsa lalu yang bermula dari hak
otonomi desa ciptaan bangsa Belanda. Otonomi daerah bagaimanapun tidak bisa
dilepaskan dari desentralisasi yang dianggap menjadi sebuah solusi alternatif
atas sentralisasi kekuasaan yang sebelum reformasi bercokol di negara ini.
Desentralisasi pada dasarnya hendak membawa pemerintah lebih dekat kepada
rakyat. Oleh karena itu, desentralisasi akan lebih bermakna
bila
pengelolaan otonomi daerah bergerak ke desa. Jalannya pemerintahan desa menjadi
tumpuan terwujudnya kesejahteraan dan kemandirian yang dicita-citakan.
Pemerintah desa dan parlemennya menjadi dua unsur penting berjalannya
pemerintahan desa. Sementara itu kebijakan desentralisasi sendiri rasanya akan
percuma jika tidak diiringi oleh penerapan demokrasi di lingkup lokal. Keduanya
harus berjalan bersama dan beriringan. Perwujudan demokrasi di lingkup lokal
terfasilitasi salah satunya dengan perwujudan parlemen desa yang berbentuk
Badan Permusyawaratan Desa. Bentuk kelembagaan demokrasi desa, yang diwujudkan
dalam BPD (Badan Permusyawaratan Desa) ini, telah mengalami banyak
perubahan
dan perkembangannya sendiri, baik dalam hal wujud maupun substansi
perannya.
Kelembagaan
demokrasi desa tersebut sebelumnya berbentuk badan
perwakilan,
kini BPD menjadi bagian dari unsur penyelenggaraan pemerintahan
desa dengan
bentuk badan permusyawaratan. BPD merupakan wujud representasi suara dari
masyarakat, sebenarnya mempunyai modal cukup dengan peran dan fungsi strategis
yang dimiliki sebelumnya, untuk mewujudkan demokrasi di desanya. Perwujudan
perubahan peran yang terjadi pada BPD menjadi penting diketahui untuk memahami
bagaimana pelaksanaan demokrasi di desa serta hambatan dan dukungan yang
lembaga tersebut dapatkan.
Bagan 1
Kerangka Pikir
kegunaan
tertentu. Persoalan penting yang patut dikedepankan dalam metode
penelitian
adalah dengan cara apa dan bagaimana data yang diperlukan dapat
dikumpulkan
sehingga hasil akhir penelitian mampu menyajikan informasi yang
valid
dan
reliable
.
1.Jenis Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan secara sistematis, faktual, akurat mengenai sifat-sifat,
fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Penelitian ini juga
bersifat komparatif yang berusaha untuk membandingkan persamaan dan perbedaan
fenomena tertentu. Dalam penelitian ini peneliti berusaha mendiskripsikan dan
membandingkan tentang bagaimana perubahan peran yang terjadi pada BAPERDES
menjadi BPD sebagai lembaga perwujudan demokrasi desa, khususnya dengan melihat
posisi lembaga tersebut ketika berlandaskan
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan perubahannya ketika berlandaskan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Penelitian ini juga diarahkan untuk memberikan pemahaman tentang
perbedaan peran yang dimiliki BPD sebelum dan sesudah revisi Undang-Undang
Pemerintahan Daerah tersebut.
2.Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di Desa rakam, Kecamatan selong, Kabupaten lombok timur. Desa
ini memiliki karakteristik masyarakat pedesaan, dimana sebagian warganya hidup
dari sektor agraris. Alasan pemilihan Desa rakam sebagai lokasi penelitian
adalah :
b.Desa rakam
adalah salah satu tempat yang dijadikan lokasi penelitian
dan desa
dampingan oleh LSM IRE (Institute For Research and Empowerment) Yogyakarta
dalam mempromosikan otonomi daerah. Sehingga peneliti mempunyai landasan yang
cukup kuat untuk mengetahui kondisi pemerintahan Desa rakam sebelum adanya
revisi
terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. c.Jalannya pemerintahan Desa rakam pada saat
berlandaskan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 cukup baik, disaat desa-desa
lain bermasalah dengan undang-undang tersebut, tanpa mengesampingkan
hambatan/kendala yang harus dihadapi oleh Desa rakam.
3.Jenis dan Sumber Data
Data adalah
suatu fakta atau keterangan dari obyek yang diteliti. Data pada penelitian
tertentu tidak selamanya terpaku pada salah satu jenis data, kualitatif atau
kuantitatif. Sangat dimungkinkan apabila kedua jenis data tersebut digunakan
secara bersamaan dalam satu jenis penelitian. Begitu pula pada penelitian ini,
data yang digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Dimana kedua jenis
data tersebut bersifat saling melengkapi (Sugiyono,2004:14).
Data
kualitatif merupakan data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat, dan
gambar. Data-data tersebut berasal dari hasil wawancara peneliti dengan
narasumber, penelusuran dokumen (terutama Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan
Peraturan Desa rakam), referensi buku-buku terkait, serta gambar foto salah
satu kegiatan rapat desa yang diikuti oleh
perwakilan
unsur pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan. Sementara data kuantitatif
adalah data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan, antara
lain berupa data jumlah penduduk dan luas wilayah Desa rakam. Pada penelitian
ini data diperoleh dari narasumber yang terdiri atas ketua dan anggota BPD,
Kepala Desa, serta unsur dari Pemerintah Desa rakam. Selain itu, serta sebagai
pelengkap atau penunjang sumber data juga diambil dari informasi masyarakat
desa setempat. Sumber data juga berasal dari
dokumen-dokumen
resmi, literatur, dan catatan-catatan yang berkaitan dengan obyek penelitian.
4.Teknik Pengumpulan Data
a.Wawancara
Teknik
wawancara yang diterapkan lebih mengarah pada wawancara tidak berstruktur secara
ketat atau dengan pertanyaan tertutup. Wawancara dilaksanakan secara mendalam
dengan bantuan beberapa pedoman wawancara. Pewawancara mempunyai garis besar
topik atau sejumlah pertannyaan umum sebagai pedoman dalam memperoleh informasi
yang
akurat.
Peneliti
membiarkan informan menjelaskan secara mendalam apa yang ia ketahui tentang
pertanyaan yang diajukan. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada Bapak
Atmo Dimejo (ketua BPD), Bapak Sarlan (Kepala Desa), Bapak Dandung Danadi
(Ketua Bidang
Pembangunan
BPD sekaligus mantan Kepala Desa rakam periode 2001-2006). Sebagai informan
tambahan ada Bapak Purwanto (Pegawai Bidang Pemerintahan Desa Sekretaris Daerah
Kabupaten lombok timur), serta Perangkat Desa.
b.Dokumentasi
Untuk
mendukung kebenaran hasil analisis data yang diperoleh dari wawancara, maka
diperlukan dukungan data sekunder yang relevan. Semua itu akan menjadi
pendukung dari analisis data kualitatif. Teknik pengambilan data tertulis,
bersumber pada catata-catatan arsip yang dimiliki pemerintah Desa rakam serta
Bagian Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten lombok timur. Disamping
dokumen tertulis yang berupa data, juga dilakukan pendokumentasian yang berupa
pengambilan foto-foto kegiatan rapat desa, dilaksanakan pada tanggal 31
Desember 2008 sebagai pendukung penelitian.
5.Teknik Pengambilan Sampel
Prosedur
pengambilan sampel yang terpenting adalah bagaimana menentukan informan kunci
atau situasi sosial tertentu yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian.
Hal ini ilakukan bertujuan selain dapat menghasilkan gambaran yang reliablejuga
untuk efisiensi tanpa melemahkan arti dari penelitian itu sendiri. Oleh karena
itu, menurut Burhan Bungin
(2003:55)
untuk memilih sampel agar lebih tepat dilakukan secara sengaja (purposive
sampling
). Maka
peneliti disini memilih beberapa informan utama sebagai narasumber yang berasal
dari BPD (Bapak Atmo, Bapak Sarlan,
Bapak
Dandung) serta dari unsur Pemerintah Desa (Bapak Ngadikun dan Carik Desa).
Merekalah informan yang dianggap mengetahui tentang obyek penelitian dan dapat
dipercaya sebagai sumber data.
6.Validitas
Data
Menurut
Burhan Bungin (2003:58-62), validitas (kesahihan) dan reliabilitas
(keterandalan) merupakan tolak ukur penelitian ilmiah. Karena hal ini adalah
upaya untuk menjamin kredibilitas (keabsahan dari suatu penelitian). Salah satu
upaya yang bisa dilakukan adalah dengan cara trianggulasi. Cara ini digunakan
supaya informasi yang didapatkan luas dan
lengkap.
Trianggulasi sendiri bisa dilakukan pada metode (penelitian dengan menggunakan
lintas metode dalam pengumpulan data), trianggulasi sumber data (memilih
berbagai sumber data baik dari hasil wawancara narasumber, dokumen
perundang-undangan ataupun peraturan daerah), serta trianggulasi pengumpul
data. Penelitian ini sendiri menggunakan teknik trianggulasi metode dan
trianggulasi sumber data.
7.Analisis
Data
Data hasil
penelitian yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis. Analisis data dilakukan
setiap saat pengumpulan data dilapangan secara berkesinambungan. Metode
analisis seperti ini disebut metode analisis interaktif dimana tiga tahapannya
berlangsung secara simultan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi.
a.Tahap
Reduksi Data
Pada tahap
ini peneliti memusatkan perhatian pada data lapangan yang telah terkumpul. Data
lapangan yang berupa rekaman atau catatan hasil wawancara kemudian dipilih,
dalam arti menentukan derajat relevansinya dengan maksud penelitian.
Selanjutnya data yang terpilih disederhanakan, diklasifikasikan, untuk kemudian
perekomendasian untuk mengambil data
tambahan
yang diperlukan. Data tambahan disini berasal dari narasumber yang sama dengan
sebelumnya, bertujuan untuk memperjelas kembali keterangan yang sebelumnya
telah diperoleh. Kemudian peneliti melakukan abstraksi terhadap data tersebut
menjadi uraian.
b.Tahap
Penyajian Data
Dari hasil
pengumpulan data peneliti melakukan rakitan kalimat yang disusun secara
sistematis, sehingga mudah dibaca dan dipahami yang kemudian memungkinkan
peneliti melakukan analisis.
c.Tahap
Penarikan Kesimpulan (verifikasi)
Dalam tahap
ini peneliti menyimpulkan hasil dari data yang telah didapat. Setiap data yang
menunjang diklarifikasi kembali dengan informan di lapangan. Apabila hasil
klarifikasi memperkuat simpulan atas data, maka pengumpulan data untuk komponen
siap dihentikan.
Ketiga
tahapan tersebut berlangsung secara simultan atau membentuk suatu siklus
interaktif yang menurut Miles dan Huberman digambarkan dalam bagan seperti di
bawah ini:
Bagan 2
Teknik Analisis
0 comments:
Post a Comment