. Pengertian Model pembelajaran Role Playing
:
Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000).
Model Pebelajaran Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan.
Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran memahami kebebasan berorganisasi, dan menghargai keputusan bersama, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan memainkan peran dalam bermusyawarah, melakukan pemungutan suara terbanyak dan bersikap mau menerima kekalahan sehingga dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut dan secara aktif berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran murid harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi.
Model pembelajaran Role Playing juga dikenal dengan nama model pembelajaran Bermain Peran. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan/menampilkan scenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprofisasi namun masih dalam batas-batas scenario dari guru.
2. Langkah-Langkah Model Role Playing
Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut :
Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000).
Model Pebelajaran Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan.
Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran memahami kebebasan berorganisasi, dan menghargai keputusan bersama, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan memainkan peran dalam bermusyawarah, melakukan pemungutan suara terbanyak dan bersikap mau menerima kekalahan sehingga dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut dan secara aktif berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran murid harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi.
Model pembelajaran Role Playing juga dikenal dengan nama model pembelajaran Bermain Peran. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan/menampilkan scenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprofisasi namun masih dalam batas-batas scenario dari guru.
2. Langkah-Langkah Model Role Playing
Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut :
- Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.
- Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.
- Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang.
- Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.
- Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan.
- Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.
- Setelah selesai ditampilkan, masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas/memberi penilaian atas penampilan masing-masing kelompok.
- Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.
- Guru memberikan kesimpulan secara umum.
- Evaluasi.
- Penutup.
3. Keunggulan Metode Role Playing
Keunggulan Model Role Playing
Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan metode role playing, di antaranya adalah:
- Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan.
- Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias.
- Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan.
- Siswa dapat terjun langsung untuk memerankan sesuatu yang akan di bahas dalam proses belajar.
Kelemahan Metode Role Playing
Disamping memiliki keunggulan, metode role playing juga mempunyai kelemahan, di antaranya adalah :
Disamping memiliki keunggulan, metode role playing juga mempunyai kelemahan, di antaranya adalah :
- Bermain peran memakan waktu yang banyak.
- Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik. Siswa perlu mengenal dengan baik apa yang akan diperankannya.
- Bermain peran tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas tidak mendukung.
- Jika siswa tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak akan melakukan secara sungguh-sungguh.
- Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.
TARBIYAH MATEMATIKA C / V
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan karunia nikmat bagi umat-Nya. Atas Ridho-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai “Penerapan Metode Pembelajaran Demonstrasi dan
Cooperative Learning Tipe Zig Shaw Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Pada
Materi Transformasi Pokok Bahasan Pencerminan” yang telah kami susun secara sistematis dan
materi yang di sajikan kami ambil dari sumber-sumber terpercaya.
Makalah ini tidak akan terwujud, jika tidak ada dorongan dan dukungan dari
berbagai pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Besar harapan kami makalah ini dapat membantu meningkatkan profesi
belajar mahasiswa dan dapat bermanfaat bagi mahasiswa, khususnya dalam
masalah disajikan dalam makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan
kritik dan saran yang membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik di
masa mendatang. Terima kasih.
Cirebon,
Februari 2013
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan merupakan salah satu komponen penting yang berpengaruh
terhadap perkembangan dan pembangunan suatu bangsa. Pendidikan juga merupakan
agen perubahan, agen sosial kontrol dan pembaharuan. Zaman yang semakin
berkembang dan maju menuntut perubahan–perubahan pada sistem pendidikan.Sistem
pendidikan di Indonesia yang telah di rancang sedemikian rupa demi terciptanya
pendidikan yang berkualitas harusnya di dukung pula oleh komponen –
komponen penting yang ada di dalamnya, yang memang sangat berpengaruh
terhadap berjalan atau tidaknya sistem pendidikan tersebut, diantaranya pendidik
(guru, dosen), peserta didik, sarana dan prasarana, dan lain – lain.
Berbicara tentang komponen pendidikan seperti pendidik, peserta didik,
sarana dan prasarana dan hal – hal lainnya mengingatkan kita bahwa komponen
tersebut merupakan faktor yang sangat berpengaruh sekali terhadap berjalan atau
tidaknya, maju atau tidaknya suatu pendidikan. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Ngalim Purwanto (1986:106) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pendidikan diantaranya kematangan, intelejensi (kecerdasan), latihan dan
ulangan, motivasi, sifat-sifat pribadi seseorang, keadaan keluarga, guru dan
cara mengajar, alat-alat pelajaran,motivasi sosial dan lingkungan.
Berdasarkan pernyataan diatas, salah satu faktor yang juga berpengaruh
terhadap keberhasilan suatu pembelajaran adalah cara pengajaran yang diterapkan
oleh guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
Salah satu hal yang banyak disoroti saat ini dalam dunia pendidikan
adalah penggunaan metode-metode belajar yang digunakan guru dalam penyampaian
materi saat pembelajaran, karena tuntutan guru untuk tepat waktu dalam
menyampaikan materi dan kewajiban guru untuk bisa menjadikan siswanya mengerti
dan menguasai materi yang disampaikan menjadikan hal tersebut menjadi sebuah
permasalahan yang harus dicari solusinya.
Penerapan model–model pembelajaran dalam proses belajar mengajar harus
dapat di sesuaikan dengan materi yang akan di sampaikan serta tujuan apa yang
hendak di capai. Ada beberapa materi misalnya
dalam mata pelajaran Matematika mendapatkan
materi aritmatika sosial pada jenjang SMP, konsep-konsep dalam materi pokok
aritmatika sosial misalnya konsep harga jual, harga beli, untung, rugi, bruto,
netto, tara, disajikan dengan metode ceramah.
Sehingga tidak terjadi interaksi timbal balik antara guru dengan siswa maupun
siswa dengan siswa, akibatnya pemahaman konsep-konsep aritmatika yang penulis
terima tidak terlalu mendalam. Padahal materi aritmatika sosial merupakan salah
satu materi yang sangat berkaitan dengan aktivitas siswa sehari-hari.
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis ingin membahas mengenai suatu metode pembelajaran untuk materi
aritmatika sosial, sedemikian hingga akan terjadi interaksi timbal balik antara
guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa dan siswa lebih memahami konsep
materi yang sedang dipelajari. Salah satu metode yang penulis anggap sesuai
jika digunakan untuk mengajar materi aritmatika sosial adalah metode simulasi
dengan menggunakan teknik pembelajaran Role Playing (bermain
peran).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari model pembelajaran Role playing (bermain peran)?
2.
Bagaimana karakteristik, prinsip, dan prosedur pembelajaran role
playing?
3.
Apa kelemahan dan kelebihan dari model pembelajaran role playing?
4.
Bagaimana model pembelajaran role playing ini di terapkan dalam mata
pelajaran Matematika?
BAB II
PEMBAHASAN
MODEL
PEMBELAJARAN
ROLE
PLAYING (BERMAIN PERAN)
A.
Pengertian Model Pembelajaran Role Playing
Dalam buku Pembelajaran Kontekstual (Komalasari : 2010) Model Pembelajaran Role Playing adalah suatu tipe Model pembelajaran Pelayanan
(Sercvice Learning). Model pembelajaran ini adalah suatu model penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui
pengembangan imajinasi dan penghayatan murid. Pengembangan imajinasi dan
penghayatan dilakukan murid dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau
benada mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal
ini bergantung kepada apa yang di perankan. Sedangkan menurut Jill Hadfield
Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya
ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang Dalam role
playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat
itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali
dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan
dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain. Metode
Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui
pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan
penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda
mati. Adanya model pembelajaran Role Playing dalam buku Model Pembelajaran
(2008:25) didasarkan pada: pertama, dibuat berdasarkan asumsi bahwa
sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik kedalam situasi permasalahan
kehidupan nyata. Kedua, bahwa bermain peran dapat mendorong siswa
mengekspresikan perasaannya dan bahkan melepaskan perasaannya. Ketiga, bahwa
proses psikologis melibatkan sikap, niali dan keyakinan (belief) kita serta mengarahkan
pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis . model
pembelajaran ini dipelopori oleh George Shafel.
Model pembelajaran role playing
atau bermain peran ini merupakan pembelajaran yang lebih menekankan pada
permainan gerak dan siswa biasanya di latih untuk memahami, memperagakan setiap
peran – peran yang di perankan nya untuk selanjutnya biasanya siswa di tugaskan
untuk memberikan penilaian baik kekurangan atau kelebihan dari peran yang
dimainkan ataupun juga jalan cerita yang di perankannya. Selain penialaian
terhadap peran, penilaaian terhadap jalan cerita dalam role playing tersebut
biasanya di jadikan bahan refleksi dalam model pembelajaran role playing
misalnya menentukan apa isi dari cerita tersebut, hikmah yang di dapat dalam
ceritanya dan lain- lain.
Menurut Miftahul A’la dalam bukunya
Quantum Teaching (2011:49) metode pembelajaran Role playing (bermain peran)
adalah merupakan cara penguasaan bahan–bahan pelajaran melalui pengembangan
imajinasi dan penghayatan yang dimiliki oleh setiap siswa. Pengembangan
imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankan memerankan sebagai
tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini umumnya dilakukan lebih dari satu
orang, itu bergantung kepada apa yang di perankan.
Nama lain dari pembelajaran role
playing ini adalah Sosiodrama. Sosiodrama (Role playing) oleh Syaiful
(2011:213) berasal dari kata Sosio dan drama. Sosio berarti sosial
menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat menunjukan pada kegiatan–kegiatan
sosial, dan drama berarti mempertunjukan, mempertontonkan atau memperlihatkan.
Jadi sosiodrama adalah metode mengajar yang dalam pelaksanaannya peserta didik
mendapat tugas dari guru untuk mendramatisasikan suatu situasi sosial yang
mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah
yang muncul dari suatu situasi sosial. Dalam buku Dasar-Dasar proses belajar
mengajar (1987: 84) sosiodrama dan role playing dapat dikatakan sama artinya
dan dalam proses pemakaiannya sering disilih gantikan. Sosiodrama pada dasarnya
mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial.
Dalam teknik pengajaran berbahasa
(1986:122) teknik bermain peran sangat baik untuk mendidik siswa dalam
menggunakan ragam-ragam bahasa. Cara berbicara orang tua tentu berbeda dengan
cara berbicara anak-anak. Cara berbicara penjual berbeda pula dengan cara
berbicara pembeli. Fungsi dan peranan seseorang menuntut cara berbicara dan
berbahasa tertentu pula. Dalam bermain peran, siswa bertindak, berlaku, dan
berbahasa sesuai dengan peranan orang yang diperankannya. Misalnya sebagai
guru, orang tua, polisi, hakim, dan sebagainya. Setiap tokoh yang di perankan
menuntut karakteristik tertentu pula.
Tujuan dari metode pembelajaran
bermain peran ini menurut Oemar Hamalik (2001:198) disesuaikan dengan jenis
belajar, diantaranya sebagai berikut :
1.
Belajar dengan berbuat. Para siswa melakukan peranan tertrentu sesuai dengan
kenyataan yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan interaktif atau keterampilan-keterampilan reaktif.
2.
Belajar melalui peniruan
(imitasi). Para siswa pengamat drama
menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan tingkah laku mereka.
3.
Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi) prilaku para
pemain atau pemegang peeran yang telah ditampilkan. Tujuannya adalah untuk
mngembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari
perilaku keterampilan yang telah didramatisasikan.
4.
Belajar melalui pemgkajian,
penilaian dan pengulangan. Para peserta dapat
memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka dengan mengulanginya dalam
penampilan berikutnya.
Menurut Wina Sanjaya (2006:161)
metode role playing ini merupakan sebagian dari simulasi yang diarahkan utuk
mengkreasikan peristiwa- peristiwa aktual atau kejadian- kejadian yang mungkin
muncul pada masa mendatang.
B.
Karakteristik, Prinsip,
Prosedur dan pola pembelajaran Role Playing
Pada (http://ras-eko.blogspot.com)
Bermain peran pada prinsipnya merupakan
pembelajaran untuk ‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke
dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian
dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap.
Misalnya: menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan
kemudian memberikan saran/ alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran
tersebut. Pembelajaran ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat
dalam ‘pertunjukan’, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan
peran.
Langkah–langkah atau prosedur dalam
pelaksanaan model pembelajaran role playing ini adalah :
1.
Guru menyusun/menyiapkan skenario
yang akan ditampilkan
2.
Menunjuk beberapa siswa untuk
mempelajari skenario dua hari atau beberapa hari sebelum KBM (kegiatan
belajar mengajar) guna mempersiapkan peran yang terdapat dalam skenario
tersebut.
3.
Guru membentuk kelompok siswa yang
anggotanya 5 orang atau sesuai dengan kebutuhan.
4.
Memberikan penjelasan tentang
kompetensi yang ingin dicapai dalam materi tersebut.
5.
Memanggil para siswa yang sudah
ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
6.
Masing-masing siswa duduk di
kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang
diperagakan.
7.
Setelah selesai dipentaskan,
masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk membahas
skenario tersebut. Misalnya menilai peran yang dilakonkan, mencari kelemahan
dan kelebihan dari peran tersebut atau pun alur/ jalan ceritanya.
8.
Masing-masing kelompok
menyampaikan hasil dan kesimpulannya.
9.
Guru memberikan kesimpulan secara
umum atau menjgevalusi seluruh kegiatan.
10. Evaluasi/ refleksi.
11. Penutup
Tahapan
pembelajaran Role Playing atau bermain peran seperti yang penulis
kutip dari Shaftel dan Shaftel, (dalam E. Mulyasa, 2003) meliputi :
1. menghangatkan
suasana dan memotivasi peserta didik;
2. memilih
peran;
3. menyusun
tahap-tahap peran;
4. menyiapkan
pengamat;
5. tahap
pemeranan;
6. diskusi
dan evaluasi tahap I ;
7. pemeranan
ulang; dan
8. diskusi
dan evaluasi tahap II; dan
9. membagi
pengalaman dan pengambilan keputusan.
Berdasarkan tahapan tersebut, terlihat bahwa terdapat dua tahap pemeranan
dalam Role Playing. Namun, tahapan ini masih dapat dimodifikasi. Dua
diantara kemungkinan modifikasi yang dapat digunakan adalah
1)
Role playing dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga
untuk sub materi pertama dapat diperankan oleh kelompok pertama, untuk sub
materi kedua dapat diperankan oleh kelompok kedua, dan seterusnya. Hal ini
berarti Role Playing dengan modifikasi seperti ini, hanya terdapat satu
tahapan pemeranan untuk setiap kelompok.
2)
Role Playing dilakukan oleh sekelompok pemeran yang telah
dibentuk bersama oleh guru dan siswa. Tahapan pemeranan untuk sub-sub materi
yang akan dipelajari dapat sepenuhnya diperankan oleh pemeran yang ditunjuk
atau satu sub materi diperankan oleh pemeran yang ditunjuk sebagai contoh dan
sub materi yang lain diperankan oleh kelompok pemeran yang lain yang telah
disusun oleh siswa sendiri.
Menurut Israni (36: 2012)
penggunaan metode sosiodrama atau bermain peran dilakukan :
1.
Apabila ingin melatih para siswa
agar mereka dapat menyelesaikan masalah yang bersifat sosial psikologis.
2.
Apabila ingin melatih para siswa
agar mereka dapat bergaul dan memeberi pemahaman terhadap orang lain serta
masalahnya.
3.
Apabila ingin mneerangkan suatu
peristiwa yang didalamnya menyangkut banyak orang.
Adapun pola dalam pembelaran role
playing ini disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang menuntut bentuk partisipasi
tertentu, yaitu pemain,pengamat dan pengkaji.
Tiga
pola organisasi yaitu sebagai berikut:
1)
Bermain peran tunggal ( single
role-play) mayoritas siswa bertindak sebagai pengamat terhadap permainan yang
sedang dipertunjukan (sosiodrama). Tujuannya adalah untuk membentuk sikap dan
nilai.
2)
Bermain peran jamak (multiple
role-play) para siswa di bagi-bagi menjadi beberapa kelompok dengan banyak
anggota yang sama dan penentunya disesuaikan dengan banyaknya peran yang
dibutuhkan. Tiap peserta memegang dan memainkan peran tertentu dalam
kelompoknya masing-masing. Tujuannya juga untuk mengembangkan sikap.
3)
Peran ulangan(role repetition)
peran utama suatu drama –atau simmulasi dapat dilakukan oleh setiap siswa
secara bergiliran. Dalam situasi seperti itu setiap siswa belajar melakukan,
mengamati dan membandingkan, perilaku yang ditampilkan oleh pemeran sebelumnya.
Pendekatan itu banyak dilaksanakan dalamm rangka mengembangkan
keterampilan-keterampilan interaktif.
Pada role playing ini meski
pembelajaran melibatkan seluruh siswa dan guru tidak menjadi satu-satunya
sumber informasi. Disini guru tetap memiliki peran penting. Guru/
pimpinan memberikan penjelasan tentag peran-peran yang akan ditampilkan dan
tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh latihan itu. Guru juga perlu
mengusahakan suasana bermain yang menyenangkan dan mencegah timbulnya kecemasan
atau praduga yang jelek. Selain itu pada akhir latihan guru atau pimpinan perlu
melakukan umpan balik dan menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Kritik-kritik
yang bersifat merusak hendaknya dihindari, dalam hal ini guru bertindak sebagai
wasit.
C.
Kelemahan dan kelebihan model
pembelajaran Role Playing
Setiap metode pembelajaran tidak
ada yang sempurna, karena masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihannya
tersendiri. Oleh karena itu peran pendidik penting dalam menyesuaikan metode
mana yang sesuai untuk di terapkan dalam menyampaikan materi tertentu. Adapun
kelemahan dan kelebihan dari metode pembelajaran Role Playing ini diantaranya
adalah :
Ø Kelebihan
Metode Pembelajaran Role Playing:
1.
Melibatkan seluruh siswa
berpartisipasi, mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerja
sama.
2.
Siswa juga dapat belajar
menggunakan bahasa dengan baik dan benar.
3.
Siswa bebas mengambil
keputusan dan berekspresi secara utuh.
4.
Permainan merupakan penemuan
yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
5.
Guru dapat mengevaluasi
pengalaman siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
6.
Dapat berkesan dengan kuat
dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengaman yang
menyenangkan yang saling untuk dilupakan.
7.
Sangat menarik bagi siswa,
sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias.
8.
Membangkitkan gairah dan
semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan sosial yang tinggi.
9.
Dapat menghayati peristiwa
yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang
terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri.
10. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan
profesional siswa, dan dapat menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan
kerja.
Selain itu menurut Miftahul A’la
(2011:93) metode pembelajaran Role playing selain memiliki kelebihan yaitu
melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi dan mempunyai kesempatan untuk
memajukan kemampuannya dalam kerja sama, kelebihan lainnya yaitu guru dapat
mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan
permainan. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.
Ø Kelemahan
Metode Pembelajaran Role Playing
1.
Metode bermain peranan
memerlukan waktu yang relatif panjang/banyak.
2.
Memerlukan kreativitas dan daya
kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun murid. Dan ini tidak semua guru
memilikinya.
3.
Kebanyakan siswa yang
ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu.
4.
Apabila pelaksanaan
sosiodrama dan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi
kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai.
5.
Tidak semua materi pelajaran dapat
disajikan melalui metode ini.
6.
Sebagian besar anak yang tidak
ikut drama mereka menjadi kurang aktif.
7.
Memerlukan tempat yag cukup luas,
jika tempat bermain sempit menyebabkan gerak para pemain kurang bebas.
8.
Kelas lain sering terganggu oleh
suara pemain dan penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan.
Menurut Syaiful (2011:214) ada
beberapa cara untuk mengatasi kelemahan – kelemahan pada metode pembelajaran
sosio drama atau role playing ini diantaranya:
1.
Guru harus menerangkan kepada
siswa, untuk dapat memecahkan masalah hubungan sosialyang aktual ada di
masyarakat.
2.
Guru harus dapat memilih masalah
yang urgent sehingga menarik minat anak. Ia dapat menjelaskan dengan baik dan
menarik, sehingga menarik minat anak.
3.
Agar siswa memahami peristiwanya
maka guru harus bisa menceritakansambil mengatur adegan pertama
4.
Bobot atau luasnya bahan pelajaran
yang akan di dramakan harus sesuai dengan waktu yang tersedia.
D.
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
ROLE PLAYING DALAM PELAJARAN MATEMATIKA
Dalam pelajaran matematika,
biasanya proses belajar mengajar yang berlangsung kurang menarik, menjenuhkan
dan membosankan. Hal ini membuat pelajaran matematika menjadi jarang disukai
pesertya didik. Metode pembelajaran yang biasa di pakai saat proses
pembelajaran di dominasi oleh metode ceramah, sehingga pembelajaran kurang
menarik. Oleh karena itu, seorang guru harus dapat lebih kreatif lagi untuk
menerapkan metode pembelajaran yang menarik dan sesuai dengan materi yang
disampaikan, sehingga selain tujuan pembelajaran yang tersampaikan dengan baik
pembelajaran pun menjadi tidak membosankan. Misalnya pada mata pelajaran
matematika dengan materi aritmatika sosial, pembelajaran ini dapat di terapkan
dengan beberapa metode pembelajaran, salah satu diantaranya yaitu metode
pembelajarn role playing.
Penerapan metode role playing pada
materi aritmatika sosial ini bertujuan agar selain siswa memahami dan mengerti
mengenai bahasan-bahasan pada materi ini seperti harga jual, harga beli,
untung, rugi, dan lain-lain, tetapi pembelajaran juga akan lebih menarik dan
lebih bermakna karena siswa dapat mempraktekan langsung proses jual beli
tersebut. Proses pembelajaran role playing pada pembahasan materi aritmatika
ini akan lebih membantu siswa dan guru dalam mencapai standar kompetensi yang
memang di harapkan.
Ø Pembelajaran materi Aritmatika Sosial dengan
menggunakan teknik pembelajaran Role Playing.
Tahapan kegiatan
pembelajaran Role Playing pada tulisan ini merupakan modifikasi dari
tahapan-tahapan yang disampaikan oleh Shaftel dan Shaftel (dalam E. Mulyasa,
2003), yaitu tahapan pemeranan dilakukan oleh sekelompok pemeran untuk satu sub
materi sebagai contoh, dan sub materi lainnya diperankan oleh kelompok lain
yang telah disusun oleh siswa sendiri.
Langkah- langkah Role Playing dalam
pembelajaran aritmatika sosial:
§ Persiapan
a) Menetapkan
topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran, yaitu
topik harga jual, harga beli, untung dan rugi. Sehingga tujuan dalam
pembelajaran yang ingin dicapai adalah siswa mendeskripsikan harga jual, harga
beli, untung, persentase untung, rugi dan persentase rugi.
b) Memotivasi
peserta didik dan memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan
diperankan, misalnya seorang pembeli akan melakukan transaksi jual beli di
sebuah pertokoan, maka siswa diberikan gambaran apa yang dilakukan oleh pembeli
dan penjual dalam transaksi tersebut.
c) Menetapkan
pemain yang akan terlibat dalam Role Playing, peranan yang harus
diperankan oleh pemeran dan waktu yang disediakan untuk melakukan kegiatan Role
Playing.
d) Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam
pemeranan Role Playing.
§ Pelaksanaan
a) Role
Playing mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.
b) Siswa
lainnya sebagai pengamat mengikut dengan penuh perhatian.
c) Guru
memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan.
§ Penutup.
a) Melakukan
diskusi tentang kegiatan Role Playing yang baru saja dilakukan khususnya
pada kegiatan yang mengarah pada konsep harga jual, harga beli, untung,
persentase untung, rugi, dan persentase rugi.
b) Siswa
yang memainkan peran dapat membagi pengalamannya pada siswa yang tidak
memainkan peran.
c) Guru
bersama siswa merumuskan kesimpulan.
d) Menyuruh
siswa membentuk kelompok untuk memerankan situasi yang berkaitan dengan sub
materi pokok selanjutnya.
Ø Materi aritmatika sosial pada sub materi pokok uang
dalam perdagangan (harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi, dan
persentase rugi)
1. Harga
jual adalah nilai uang dari suatu barang yang dijual.
2. Harga
beli adalah nilai uang dari suatu barang yang dibeli.
3. Untung,
jika harga penjualan lebih besar daripada harga pembelian.
Besar untung = harga penjualan –
harga pembelian
4. Persentase
untung adalah besar keuntungan yang diperoleh dalam satuan persen berdasarkan
harga pembelian
5. Rugi,
jika harga penjualan lebih kecil daripada harga pembelian.
Besar rugi = harga pembelian –
harga penjualan
6. Presentase
rugi adalah besar kerugian yang diderita dalam satuan persen berdasarkan harga
pembelian
Sebelum menerapkan metode pembelajaran
role playing ini guru tentu harus mempersiapkan skenario yang akan di perankan
siswa. Contoh skenario yang dapat dipakai untuk pembelajaran dengan metode role
playing pada materi aritmatika sosial ini adalah :
Tokoh:
1. Pak
Rian sebagai pembeli dari toko grosir.
2. Bu
Rian, istri pak Rian yang membantu pak Rian berjualan di toko.
3. Bu
Ade sebagai karyawan toko gorsir “SERBA ADA”.
4. Yayu
sebagai pembeli pertama.
5. Evi
sebagai pembeli terakhir.
Suatu hari pak Rian pergi ke toko grosir ‘SERBA ADA untuk membeli 20 potong busana muslim.
Pak
Rian : “Selamat siang Bu”
Bu Ade
: “Selamat siang Bapak, ada
yang bisa saya Bantu?
Pak
Rian : “Apa ada busana
muslim model baru Bu”
Bu
Ade :”oh ada Bapak,
Bapak mau yang harga berapa?”
Pak Rian memilih beberapa odel baju. Akhirnya setelah sekian lama
memilih, pak Rian menemukan model busana yang diinginkan.
Pak
Rian :”Saya pilih yang
model ini saja bu, berapa harganya?”
Bu Ade :”Oh
kalau itu, memang model yang paling digemari remaja-remaja muslim akhir-akhir
ini Bapak.bagus sekali pilihan bapak. Kalau model yang ini satu kemasan terdiri
dari ukuran M, L dan XL. Setiap kemasannya kami beri harga Rp 120.000,00. Nanti
ada beberapa pilihan warna Bapak. Bapak mau ambil berapa kemasan?”
Pak
Rian : “Ehm, kalu begitu
saya ambil 10 kemasan”
Bu
Ade :”Oh iya bapak,
warna apa saja bapak?”
Bu Ade
:”Warna merahnya 2, warna putihnya 3, warna hijaunya 2, warna ungunya 1, dan
warna jingganya 2”
Setelah menunggu beberapa saat,Bu Ade datang membawa barang yang
dibeli pak Rian dan nota pembelian pak Rian.
Bu
Ade :”Ini bapak
barangnya, dan ini nota pembeliannya”
Pak Rian
:”jadi semuanya Rp.
1.200.000,00 Bu ya?, ini uangnya.”
Setelah pak Rian membayar busana yang dibelinya, pak Rian langsung
pulang ke tokonya dan menata busana yang baru saja dibelinya di etalase. Selang
beberapa menit, seorang pembeli datang ingin membeli busana muslim itu.
Pembeli 1
:”Berapa harga busana muslim ini, Pak?”
Pak Rian
:”Kalau yang itu Rp.
65.000,00, Mbak”
Pembeli 1
:”Apa tidak boleh kurang, Pak?”
Bu Rian
:”Mbak nawarnya berapa?”
Pembeli 1
:”Rp 50.000,00 boleh?”
Pak
Rian :”Ya dinaikkan lagi
to Mbak”
Pembeli
1 :”Pasnya berapa sih Bu?”
Bu Rian
:”Ya sudah, saya
kasihkan Rp 60.000,00 saja buat mbak, gimana?”
Pembeli 1
:” Tidak bisa kurang lagi ya Bu?”
Pak
Rian
:”Kan sudah
dikurangi sama ibunya, pasnya ya segitu mbak, gimana mbak, kalau jadi saya
bungkuskan, saya beri bonus tas plastic nanti.”
Pembeli
1 :”Ya sudah pak, saya jadi beli”
Akhirnya pembeli 1 membeli busana tersebut dengan harga Rp. 60.000,00.
Bu
Rian
:”Alhamdulillah ya Bapak, busana yang kita beli dengan harga Rp 40.000,00 dapat
kita jual dengan harga Rp. 60.000,00”
Pak
Rian :”Iya Bu, kita
untung Rp. 20.000,00”
Akhirnya setelah beberapa hari, sisa dagangan busana muslim model baru
pak Rian tinggal satu potong. Selang beberapa menit sebelum pak Rian hendak
menutup tokonya, penjual yang terakhir datang.
Pak
Rian :”Mau cari apa
Mbak?”
Yayu
:”Bapak, ada model busana muslim yang biasa digunakan artis Syahrini itu lo
pak?”
Pak
Rian :”Oh
yang ini, kebetulan sekali Mbak tinggal satu ini. Model ini banyak yang cari.
Wah kebetulan ukurannya sesuai dengan ukuran badannya Mbak. Bagaimana Mbak, mau
diambil?”
Yayu
:”Ukurannya sih cocok Pak, tapi warnanya kok merah sih Pak, apa tidak ada yang
lain?”
Pak Rian
:”Kan Bapak tadi sudah bilang,
tinggal satu-satunya ini Mbak”
Yayu
:”Berapa Pak
harganya?”
Pak
Rian :”Rp. 65.000,00 saja
kok Mbak”
Yayu
:”Boleh kurang kan
Pak?”
Pak
Rian :”Boleh, Mbak nawar
berapa?”
Yayu
:”Rp. 30.000,00 ya Pak?”
Pak Rian
:”Waduh ya dinaikkan to Mbak, masa harga Rp. 65.000,00 Mbak tawar
Rp.30.000,00?”
Yayu
:”Kalau ada warna yang lain saya mau Pak menaikkan agak banyak, tapi yang ini
saya agak tidak suka warnanya. Begini saja Pak, saya tawar Rp.35.000,00.
Bagaimana? Kalau tidak boleh ya sudah.”
Pak Rian :”Ya sudah Mbak, saya kasihkan
Rp.35.000,00, lagian saya juga sudah mau tutup.”
Yayu
:”terima kasih pak, ini uangnya 35.000,00”
Akhirnya busana muslim model baru tersebut terjual habis. Di rumah pak
katiin bercerita kepada istrinya mengenai pembeli terakhir.
Pak
Rian :”Bu, maaf ya,
busana terakhir terjual hanya Rp.35.000,00”
Bu Rian :” Ya
sudahlah Pak, tidak apa-apa, meskipun begitu, uang yang kita dapat dari
penjualan busana muslim itu saja sudah mencapai Rp. 1.635.000,00, kita sudah
punya kelebihan dari biaya yang kita keluarkan untuk membeli busana itu.”
Dalam skenario diatas selain hanya siswa diajak bermain peran tapi ia
juga dapat mengerti dan faham mengenai materi aritmatika sosial. Untuk
mengatasi hal-hal sepeti banyaknya waktu terbuang ataupun kekurangan waktu,
maka seorang guru harus dapat menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
dengan sebaik mungkin. Misalnya:
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Mata Pelajaran
: Matematika
Kelas / Semester
: Vll/1
Standar Kompetensi : Menggunakan bentuk aljabar, persamaan,
pertidaksamaan linear satu variable dan perbandingan dalam pemecahan masalah.
Kompetensi Dasar : Menggunakan konsep aljabar dalam pemecahan
masalah aritmetika sosial yang sederhana.
Alokasi Waktu : 1× pertemuan (3 × 45 menit)
- Indikator
- Memberikan contoh kegiatan jual beli.
- Mendiskripsikan keadaan untung dan rugi
- Menentukan harga pembelian dan harga penjualan.
- Mendiskripsikan keadaan untung dan rugi
- Menentukan besar untung dan rugi serta besar persentasenya.
- Materi
1. Pembelajaran : Harga pembelian, harga penjualan, untung
dan rugi persentase untung dan rugi
2. Materi Prasyarat : Operasi bilangan bulat
- Teknik Pembelajaran
Role Playing (Bermain Peran).
Kegiatan
pembelajaran
|
Kegiatan guru
|
Kegiatan siswa
|
Waktu
|
Pendahuluan
|
|||
1.
|
Menetapkan topik atau masalah serta tujuan
yang hendak dicapai dalam pembelajaran, yaitu topik harga jual, harga beli,
untung dan rugi, persentase untung dan rugi.
|
Memperhatikan penjelasan dari guru tentang topik
yang akan dibahas, yaitu topik
harga jual, harga beli, untung dan rugi, persentase untung dan rugi. Sehingga siswa tahu bahwa tujuan dalam pembelajaran yang ingin dicapai
adalah mereka dapat mendeskripsikan harga jual, harga beli, untung,
persentase untung, rugi dan persentase rugi
|
10 menit
|
2.
|
Mengajak siswa mengingat
kembali materi operasi bilangan bulat sebagai materi prasyarat materi
pelajaran yang akan dibahas hari ini.
|
Memberi respon guru
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengenai operasi bilangan
bulat.
|
12 menit
|
3.
|
Menyampaikan pada siswa
bahwa untuk kegiatan pembelajaran hari ini siswa akan berpura-pura sebagai
tokoh-tokoh yang terlibat dalam kegiatan jual beli.
|
Memperhatikan penjelasan dari guru. Diharapkan
siswa akan bertanya mengenai kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan.
|
8 menit
|
Kegiatan inti
|
|||
1.
|
Memberikan gambaran
masalah dalam situasi yang akan diperankan, misalnya seorang pembeli akan
melakukan transaksi jual beli di sebuah pertokoan, maka siswa diberikan
gambaran apa yang dilakukan oleh pembeli dan penjual dalam transaksi
tersebut.
|
Memperhatikan penjelasan
dari guru agar tidak mengalami kesulitan ketika melaksanakan kegiatan bermain
peran.
|
10 menit
|
2.
|
Menetapkan pemain yang akan terlibat dalam
Role Playing, peranan yang harus diperankan oleh pemeran dan waktu yang
disediakan untuk melakukan kegiatan Role Playing
|
Menentukan pemain yang
akan terlibat berdasarkan kesepakatan semua siswa dan persetujuan guru.
Menentukan peranan yang
dimainkan oleh setiap pemain berdasarkan kesepakatan semua siswa dan
persetujuan guru.
Memperhatikan penjelasan
dari guru mengenai waktu yang diberikan kepada pemain untuk memainkan
perannya.
|
5 menit
|
3.
|
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeranan Role Playing
|
Bertanya mengenai semua yang berkaitan dengan
kegiatan bermain peran yang akan dilakukan.
|
5 menit
|
4.
|
Guru beserta siswa yang tidak terlibat dalam
pemeranan Role Playing memperhatikan kelompok pemeran yang sedang melakukan
tugasnya.
Apabila ketika role playing sedang
berlangsung ada pemeran yang kesulitan, guru dapat memberikan bantuan.
|
Melaksanakan pemeranan Role Playing.
|
30 menit
|
5.
|
Melakukan diskusi tentang kegiatan Role Playing yang baru saja
dilakukan khususnya pada kegiatan yang mengarah pada konsep harga jual, harga
beli, untung, persentase untung, rugi, dan persentase rugi.
|
Siswa yang memainkan peran dapat membagi pengalamannya pada siswa yang
tidak memainkan peran.
Siswa menjawab pertanyaan guru mengenai konsep harga jual, harga beli,
untung, persentase untung, rugi, dan persentase rugi dengan menceritakan
kejadian-kejadian dalam Role Playing yang berhubungan dengan konsep-konsep
tersebut.
|
20 menit
|
6.
|
Memberikan tes secara individu kepada siswa untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap materi
pelajaran
|
Mengerjakan tes secara individu
|
15 menit
|
Kegiatan penutup
|
|||
1.
|
Membimbing siswa membuat rangkuman tentang materi
pembelajaran hari ini
|
Membuat rangkuman tentang materi pembelajaran
hari ini dengan bimbingan dari guru.
|
10 menit
|
2.
|
Melakukan refleksi kegiatan pembelajaran
|
melakukan refleksi kegiatan pembelajaran
|
5 menit
|
3.
|
Memberikan PR.
Menyuruh siswa untuk membuat kelompok peran yang terdiri dari 4 orang
untuk melakukan kegiatan role playing pada sub materi selanjutnya yang
dilaksanakan pada pertemuan selanjutnya.
|
Mencatat PR yang diberikan oleh guru.
Mendengarkan informasi tugas kelompok yang diberikan oleh guru
|
5 menit
|
Dari gambaran pelaksanaan
pembelajaran tersebut dapat terlihat bahwa model pembelajaran role playing ini
dapat di terapkan dalam matematika, tidak hanya dalam materi aritmatika saja,
tetapi dalam materi lain pun guru harus kreatif untuk dapat memodivikasi dan
mengkombinasi model pembelajaran agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan
lancar, menyenangkan dan yang paling penting adalah tujuan dari proses belajar
tersebut tercapai.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Metode pembelajaran role playing
ini merupakan metode pembelajaran yang melibatkan siswa untuk aktif dan siswa
ikut berperan penting dalam pembelajaran. Penggunaan metode pembelajaran role
playing ini dapat membuat suasana belajar menjadi lebih menyenangkan sehingga
memotivasi siswa dan siswa menjadi antusias saat pembelajaran.
Setiap metode tentu memiliki
kelemahan dan kelebihannya asing-masing begitupun dengan metode pembelajaran
role playing ini, oleh karena itu seorang guru atau pendidik perlu memadukan
pembelajaran role playing ini dengan metode-metode lain sesuai dengan materi
atau standar kompetensi yang hendak dicapai siswa. Dengan demikia selain dari
siswa yang termotivasi untuk belajar, proses pembelajaran berlangsung sesuai
dengan yang di harapkan guru pun akan terbantu dengan hasil pembelajaran yang
memang sesuai.
B.
Saran
Pemaparan mengenai metode
pembelajaran role playing dalam makalah ini tentu jauh dari sempurna, dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hardini, Israni dan Dewi Puspiasari. 2012. Strategi Pembelajaran Terpadu. Yogyakarta: Familia.
A’la, Miftahun. 2011. Quantum Teaching. Yogjakarta: Diva Press.
Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Tim Edukatif. 2006. Kompeten Berbahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Tarigan, Djago. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Hamalik, Oemar. 2001. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: Bumi Aksara
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembalajaran. Jakarta ; Media Grup
Sudiana, Nana. 1987.Dasar-dasar Prses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
http://ras-eko.blogspot.com/2011/05/model-pembelajaran-role-playing.html
ROLE PLAYING SEBAGAI SALAH SATU MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF BAHASA DAN SASTRA
Posted: January 14, 2013 in Artikel
Publik
I.
PENDAHULUAN
Sebagai
seorang guru, guru haru jelih melihat keadaaan para siswa-siswanya baik di
dalam pembelajaran atau pun diluar pembelajaran. Begitu pula ketika proses
belajar-mengajar di mulai, guru harus mampu menyusun strategi pembelajaran yang
ampuh untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Seorang guru tidak selayaknya masuk ke dalam kelas dan mengajar seadanya tanpa
persiapan sama sekali. Karena setiap bahan pembelajaran butuh strategi yang
dijabarkan lewat model pembelajaran agar sbsatnsi pembelajaran tercapai secara
maksimal.Djumungin (2011: 43) dalam bukunya menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah keseluruhan pola umum kegiatan guru-siswa dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan. Beliau menambahkan bahwa Strategi pembelajaran bahasa tersebut memilki variasi penyajian yang disebut model-model pembelajaran bahasa Indonesia. Sehubungan denga itu, Amadi juga mengerucutkan bahwa strategi belajar-mengajar keterampilan berbahasa Indonesia adalah pola KBM yang dipilih oleh tenaga pengajar untuk melaksanakan program belajar-mengajar keterampilan berbahasa Indonesia. Dalam model-model ini, seorang guru akan mendisain dan melaksanakan proses belajar-mengajar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, serta situasi dan kodisi pembelajaran berlangsung. Artinya, guru dapat saja mengubah model pembelajaran apabila situasi dan kondisi pembelajaran tidak memungkinkan.
Menurut Djumungin (2011: 121), model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang sistematis untuk mengorganisasikan pembelajaran. Model dapat diartikan sebagai perangkat rencana atau pola yang digunakan oleh guru untuk merancang bahan-bahan pembelajaran. Model dapat juga diartikan sebagai perangkat rencana atau pola yang digunakan oleh guru untuk merancang bahan-bahan pembelajaran. Beliau menambahkan bahwa tidak satu pun model yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada model lainnya. Begitu pula tidak ada satu pun model yang paling ampuh untuk segala situasi.
Makalah ini akan membahas model pembelajaran inovatif bahasa dan sastra, khususnya model role playing atau sosiodrama. Tentu tidak semua bahan ajar harus menggunakan model tersebut. Namun makalah ini menyajikan secara lengkap mengenai model pembelajaran role playing sebagai model pembelajaran inovatif yang akan dibutuhkan pada bahan-bahan ajar tertentu nantinya pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Berikut penjelasan lengkapnya:
II.
PEMBAHASAN
A. PengertianWikipedia (2012) menyebutkan bahwa role playing adalah sebuah permainan yang para pemainnya memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama. Jill Hadfield (dalam Santoso, 2011) menyatakan bahwa role playing adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang. Hadari Nawawi (dalam Kartini, 2007) menyatakan bahwa bermain peran (role playing) adalah mendramatisasikan cara bertingkah laku orang-orang tertentu dalam posisi yang membedakan peranan masing-masing dalam suatu organisasi atau kelompok di masyarakat. Sehubungan dengan itu, Santoso (2011) mengatakan bahwa model role playing adalah adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Dengan kata lain bahwa model pembelajaran role playing adalah suatu model pembelajaran dengan melakukan permainan peran yang di dalamnya terdapat aturan, tujuan, dan unsur senang dalam melakukan proses belajar-mengajar.
B. Karakteristik
Hapidin (dalam Kartini, 2007) menyatakan bahwa dalam metode ini anak diberi kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya dalam memerankan seorang tokoh atau benda-benda tertentu dengan mendapat ulasan dari guru agar mereka menghayati sifat-sifat dari tokoh atau benda tersebut. Dalam bermain peran, anak diberi kebebasan untuk menggunakan benda-benda sekitarnya dan mengkhayalkannya jika benda tersebut diperlukan dalam memerankan tokoh yang dibawakan. Contoh kegiatan ini misalnya anak memerankan bagaimana Bapak Tani mencangkul sawahnya, bagaimana kupu-kupu yang menghisap madu bunga, bagaimana gerakan pohon yang ditiup angin, dan sebagainya. Baroro (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dalam role playing peserta didik dituntut dapat menjadi pribadi yang imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat luas, mandiri dalam berfikir, ingin tahu, penuh energi dan percaya diri.
Sehubungan dengan itu, Nursid Sumaatmadja (dalam Kartini, 2007) juga menyatakan bahwa metode bermain peran sangat difokuskan pada kenyataankenyataan yang terjadi di lingkungan masyarakat. metode ini berhubungan dengan penghayatan suatu peranan sosial yang dimainkan anak di masyarakat. Basri Syamsu (dalam Santoso, 2011) menyatakan bahwa dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas, dengan menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Santoso, 2011).
C. Tujuan
Menurut Zuhaerini (dalam Santoso, 2011), model ini digunakan apabila pelajaran dimaksudkan untuk: 1) menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak, dan berdasarkan pertimbangan didaktik lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak; 2) melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial-psikologis; dan 3) melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya. Sementara itu, Davies (dalam Sadali) mengemukakan bahwa penggunaan role playing dapat membantu siswa dalam mencapai tujuan-tujuan afektif.
D. Manfaat
Bobby DePorter (Santoso: 2011) mengatakan manfaat yang dapat diambil dari role playing adalah: 1) role playing dapat memberikan semacam hidden practise yaitu murid tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan terhadap materi yang telah dan sedang mereka pelajari; 2) role playing melibatkan jumlah murid yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar; 3) role playing dapat memberikan kepada murid kesenangan karena role playing pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain murid akan merasa senang karena bermain adalah dunia siswa.
Di sisi lain, Sadali dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada empat asumsi yang mendasari model mengajar ini yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: 1), secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan dimensi “di sini dan kini” (here and now) sebagai isi pengajaran. 2), bermain peran memberikan kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain.3), model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. 4) model mengajar ini mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya.
E. Sintak/Langkah-Langkah Model Pembelajaran Role Playing
Djumingin (2011: 174) menyatakan bahwa sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan skenario pembelajaran; menunjuk beberapa siswa untuk memelajari skenario tersebut; pembentukan kelompok siswa; penyampaian kompetensi; menunjuk siswa untuk melakonkan skenario yang telah dipelajari; kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon; presentasi hasil kelompok; bimbingan penyimpulan; dan refleksi. Secara lebih lengkap, berikut langkah-langkah sistematisnya:
- Guru menyuruh menyiapkan skenario yang akan ditampilkan;
- Guru menunjuk beberapa siswa untuk memelajari skenario yang sudah dipersiapkan dalam beberapa hari sebelum kegiatan belajar-mengajar;
- Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya lima orang;
- Guru memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai;
- Guru memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan;
- Setiap siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan;
- Setelah selesai ditampilkan, setiap siswa diberikan lembar kerja untuk membahas penampilan kelompok masing-masing;
- Setiap kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya;
- Guru memberikan kesimpulan secara umum;
- Evaluasi;
- Penutup.
Banyak kelebihan yang dimiliki model pembelajaran role playing. Kelebihan-kelebihan tersebut di antaranya:
- Menarik perhatian siswa karena masalah-masalah sosial berguna bagi mereka;
- Bagi siswa; berperan seperti orang lain, ia dapat merasakan perasaan orang lain; mengakui pendapat orang lain itu; saling pengertian; tenggang rasa; toleransi;
- Melatih siswa untuk mendesain penemuan;
- Berpikir dan bertindak kreatif;
- Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis karena siswa dapat menghayatinya;
- Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan;
- Menafsirkan dan mengevaluasi hadil pengamatan;
- Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat;
- Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja (Djumingin, 2011: 175-176)..
- Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh;
- Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan;
- Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias;
- Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi (Santoso, 2011).
- Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misalnya, terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut;
- Guru harus memahami betul langkah-langkah pelaksanaannya, jika tidak dapat mengacaukan pembelajaran;
- Memerlukan alokasi waktu yang lebih lama (Djumingin, 2011: 175-176).
- Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu;
G. Penelitian Role Playing
Model Pembelajaran role playing telah banyak digunakan oleh orang-orang termasuk para ahli pendidikan dalam melakukan penelitian. Bukan hanya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia namun metode pembelajaran ini dapat dipakai sebagai penelitian di mata pelajaran yang lain. Berikut penelitian-penelitian yang memakai model pembelajaran role playing:
- Penerapan role playing untuk meningkatkan pemahaman teks cerita rakyat pada pembelajaran bahasa indonesia siswa kelas V SDN Tegalweru Kabupaten Malang oleh Rika Evalia Ariyanti (2010).
- Penerapan model pembelajaran role playing pada mata pelajaran menemukan peluang baru pelanggan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar (studi pada siswa kelas X Pemasaran di SMK Islam Batu Malang) oleh Franu Wijaya (2011).
- Upaya meningkatkan nilai-nilai karakter peserta didik melalui penerapan metode role playing oleh Kiromim Baroro (2010/2011).
- Penggunaan metode role playing untuk meningkatkan minat siswa dalam pembelajaran pengetahuan sosial di kelas V SDN Cileunyi I Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung oleh Tien Kartini (2007).
- Pengaruh penerapan model pembelajaran role playing terhadap aktifitas guru dan hasil belajar dalam mata pelajaran pendidikan ips di sekolah dasar (penelitian tindakan kelas di sd negeri lemah abang 2 tanjung, kabupaten brebes) oleh Sadali.
III PENUTUP
MAKALAH METODE ROL PLAY
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedisiplinan Belajar dapat ditanamkan kepada siswa-siswi melalui beberapa
pembelajaran di kelas. Pilihan pembelajaran atau model pembelajaran merupakan
bagian yang penting dan membutuhkan kejelian serta inovasi guru dalam proses
transformasi ilmu pengetahuan atau nilai-nilai. Pada dasarnya manusia membutuhkan pendidikan
dalam kehidupannya, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal, agar
dengan pendidikan potensi dirinya dapat berkembang melalui proses pembelajaran
atau cara lain yang dikenal dan dilakukan oleh masyarakat. Lahirnya generasi
baru yang cerdas dan handal adalah suatu keharusan bagi suatu bangsa, para
pendidik (guru) serta orang tua.
Upaya meningkatkan aktivitas belajar murid merupakan tantangan yang
selalu dihadapi oleh setiap orang yang berkecimpung dalam propesi keguruan dan
pendidikan. Banyak upaya yang telah dilakukan dan banyak pula keberhasilan yang
telah dicapai, meslipun keberhasilan itu belum sepenuhnya memberuikan kepuasan
bagi masyarakat dan para pendidik, sehingga sangat menuntut renungan, pemikiran
dan kerja keras orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidkan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
Proses dan pemecahan masalah pembelajaran di kelas dapat dilakukan
melalui berbagai cara, misalnya melalui diskusi kelas, tanya jawab antara guru
dan peserta didik, Inquiry dan metode-pembelajaran lain. Oleh karena itu
seorang guru dituntut untuk dapat membawa dirinya sebagai agen pembawa
informasi dengan baik. Guru yang kreatif selalu mencari pendekatan baru dalam
memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton. Untuk
melaksanakan proses pebelajaran perlu dipikirkan pembelajaran pembelajaran yang
tepat. Pemilihan pembelajaran disamping harus disesuaikan dengan materi dan
tujuan pembelajaran juga ditetapkan dengan melihat kegiatan yang akan
dilakukan, pembelajaran pembelajaran sangat beraneka ragam, guru dapat memilih
pembelajaran pembelajaran yang efektif untuk mengantarkan murid mencapai
tujuan.
Bermain peran pada prinsipnya merupakan pembelajaran untuk menghadirkan
peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu pertunjukan peran di
dalam kelas atau pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar
peserta memberikan penilaian terhadap. Misalnya: menilai keunggulan maupun
kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan saran atau
alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Pembelajaran ini
lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam pertunjukan, dan bukan
pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.
Karena fenomena itulah maka perlu adanya pengkajian lebih
lanjut yang bertujuan untuk membahas apa dan bagaiman metode pembelajaran role
play atau bermain peran, serta aplikasinya jika diterapkan dalam pembelajaran
sejarah. Agar lebih memahami tentang metode pembelajaran role play atau bermain
peran, maka pemberian judul makalah ini adalah “Metode Pembelajaran Role Play”.
1.2 Rumusan
Masalah
Dalam penulisan makalah ini, terdapat
beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan. Adapun rumusan
masalah yang telah ditetapkan adalah :
1.
Bagaimana pengertian dari metode pembelajaran Role Play?
2.
Bagaimana kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran Role Play secara
umum?
3.
Bagaimana kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran Role play jika
diterapkan pada pembelajaran sejarah?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan yang ingin di capai dari penulisan makalah ini adalah untuk
menjawab rumusan masalah diatas, yakni:
1.
Mendiskripsikan pengertian dari metode pembelajaran Role Play.
2.
Mendiskripsikan kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran Role Play
secara umum.
3.
Mendeskripsikan kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran Role play
jika diterapkan pada pembelajaran sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembelajaran Role Play
2.1.1 Pengertian Metode Pembelajaran Role
Play
Role playing adalah
sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus
melibatkan unsur senang. Dalam role
playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar
kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas, dengan
menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, role
Playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana
pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan
peran orang lain. Dalam role playing
murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan
praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama
teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan
yang berpusat pada diri murid (http://www.dedenbinladen.web.id).
Sementara itu, sesuai dengan pengalaman
penelitian sejenis yang telah dilakukan, manfaat yang dapat diambil dari role playing adalah: Pertama, role playing dapat memberikan
semacam hidden practise, dimana
murid tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan terhadap materi yang telah dan
sedang mereka pelajari. Kedua, role
playing melibatkan jumlah murid yang cukup banyak, cocok untuk
kelas besar. Ketiga, role playing dapat
memberikan kepada murid kesenangan karena role playing pada dasarnya adalah permainan. Dengan
bermain murid akan merasa senang karena bermain adalah dunia siswa.
2.1.2
Langkah-langkah Pembelajaran Role
Play
Syaiful Imran (2009) www.ipotes.com,
menjelaskan langkah-langkah role
playing atau bermain peran, yaitu : (1) Guru menyusun atau menyiapkan
skenario yang akan ditampilkan, (2) menunjuk beberapa murid untuk mempelajari
skenario dalam waktu beberapa hari sebelum kegiatan belajar, (3) guru membentuk
kelompok murid yang anggotanya 5 orang, (4) memberikan penjelasan tentang kompetensi
yang ingin dicapai, (5) memanggil para murid yang sudah ditunjuk untuk
melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan, (6) masing-masing murid berada di
kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan, (7) setelah
selesai ditampilkan, masing-masing murid diberikan lembar kerja untuk membahas
penampilan masing-masing kelompok, (8) masing-masing kelompok menyampaikan
hasil kesimpulannya, dan (9) guru memberikan kesimpulan secara umum.
2.1.3 Tujuan Pembelajaran Role Play
Menurut Zuhaerini (1983:56), model ini
digunakan apabila pelajaran dimaksudkan untuk: (a) menerangkan suatu peristiwa
yang di dalamnya menyangkut orang banyak, dan berdasarkan pertimbangan didaktik
lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat
dihayati oleh anak; (b) melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan
masalah-masalah sosial-psikologis; dan (c) melatih anak-anak agar mereka dapat
bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta
masalahnya.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa
penggunaan model ini dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah
direncanakan. Ada
empat asumsi yang mendasari model ini memiliki kedudukan yang sejajar dengan
model-model pengajaran lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: Pertama, secara
implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman
dengan menekankan dimensi “di sini dan kini” sebagai isi pengajaran. Kedua,
bermain peran memberikan kemungkinan kepada para murid untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya
yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain. Ketiga, model
ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran
untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Keempat, model mengajar
ini mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi berupa
sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat
ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya.
Mudairin (2009: 4) menjelaskan bahwa untuk
dapat mengukur sejauh mana bermain peran memberikan manfaat kepada pemeran dan
pengamatnya ditentukan oleh tiga hal, yakni (1) kualitas pemeranan; (2)
analisis yang dilakukan melalui diskusi setelah pemeranan; (3) persepsi murid
terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi nyata dalam
kehidupan. Pembelajaran dengan model role
play dilaksanakan menjadi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut:
(1) tahap memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran; (3) menyiapkan pengamat;
(4) menyiapkan tahap-tahap permainan peran; (5) pemeranan; (6) diskusi dan
evaluasi; (7) pemeranan ulang; (8) diskusi dan evaluasi kedua; (9) membagi
pengalaman dan menarik generalisasi.
2.2. Kelebihan dan Kekurangan Metode
Pembelajaran Role Play Secara Umum
2.2.1. Kelebihan dari Metode Pembelajaran
Role Play Secara Umum
Metode role playing atau bermain peran, banyak melibatkan siswa dan
membuat siswa menjadi senang belajar. Menurut Adorn dan Mbirirnujo, metode
bermain peran mempunyai nilai tambah, yang pertama, dapat menjamin jika seluruh
siswa dapat berpartisipasi dan mempunyai kesempatan untuk menunjukkan
kemampuannya dalam bekerja sama hingga berhasil, dan kedua , permahaman
merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak. Butir yang kedua
inilah yang menjadi dasar dalam bermain peran, yang menyatakan bahwa anak-anak
dapat belajar dengan baik pada saat pelajaran tersebut dapat menyenangkan.
Menurut Kristiani, dengan menerapkan metode bermain peran akan terjadi suasana
yang menggembirakan bagi siswa selama mereka belajar metode role playing dapat
meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang sedang dipelajari
(Marrah, 2010).
Selain memiliki nilai tamabah, metode role playing ini juga memiliki
banyak kelebihan. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan
waktu yang berbeda. Guru dapat mengevaluasi pengalaman siswa melalui pengamatan
pada waktu melakukan permainan. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam
ingatan siswa. Disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sulit
untuk dilupakan, metode role playing juga sangat menarik bagi siswa, sehingga
memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias. Membangkitkan gairah dan
semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan sosial yang tinggi. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung
dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya
dengan penghayatan siswa sendiri. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan
profesional siswa, dan dapat menumbuhkan atau membuka kesempatan bagi lapangan
kerja (Widyatun, 2012).
Selain itu, metode role playing juga dapat melatih daya
imajinasi siswa (wordpress, 2011). Memberikan kesempatan kepada anak
didik untuk berlatih kemampuan verbal dengan mempraktikkan apa yang telah
mereka pelajari. Mempelajari perasaan baik sebagai pribadi maupun anggota
masyarakat terhadap sebuah peristiwa yang terjadi dalam sebuah tatanan sosial.
Belajar memberikan pandangan terhadap suatu tingkah laku dan nilai utamanya
yang berkenaan dengan hubungan antar manusia. Mengembangkan keberanian dan
percaya diri peserta didik dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah.
Meningkatkan gairah peserta didik dalam pembelajaran (Khoiri, 2011).
2.3.1. Bagaimana Kelemahan dari Metode
Pembelajaran Role Play Secara Umum
Hakekatnya sebuah ilmu yang tercipta oleh manusia tidak ada yang
sempurna,semua ilmu ada kelebihan dan kekurangan. Jika kita melihat metode Role
Playing dalam dalam cakupan cara dalam prooses mengajar dan belajar dalam
lingkup pendidikan tentunya selain kelebihan terdapat kelemahan. Kelemahan
metode role palying antara lain, metode bermain peranan memerlukan waktu yang
relatif panjang/banyak. Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari
pihak guru maupun murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya. Kebanyakan siswa
yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan
tertentu. Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain pemeran mengalami kegagalan,
bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan
pengajaran tidak tercapai. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui
metode ini (Widyatun, 2012).
Metode role playing juga menimbulkan kegaduhan sehingga terkadang
menyebabkan kelas yang lain merasa terganggu, dibutuhkan keteampilan guru dalam
mengelolah permainan, siswa kurang maksimal atau menghayati peran yang
dilakoninya, membutuhkan banyak waktu untuk melakukan persiapan danam bermain
peran, dan dibutuhkan kecakapan bahasa yang baik dari siswa (Marrah, 2010).
Pengalaman pembelajaran yang dicapai terkadang tidak sesuai dengan kenyataan di
lapangan. Apabila pengelolaan kelas kurang baik maka metode ini sering menjadi
hiburan sehingga tujuan pembelajaran tidak tercapai. Memakan banyak waktu.
Faktor psikilogis seperti takut dan malu sering mempengaruhi peserta didik
dalam menjalankan peran mereka (Khoiri, 2011).
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Mengenai Saya
sebelum kita melangkah mari kita
pertimbangkang secara matang atas apa yang akan kita perbuat, apakah yang kita
perbuat ada dampak positifnya bagi kita ataupun orang lain, ataupun malah
sebaliknya yaitu berdampak negatif bagi diri kita ataupun orang lain. maka dari
itu setiap perbuatan yang akan kita lakukan harus ada perencanaan yang matang
dan ada nilai positifnya...
MODEL JURISPRUDENSIAL
novi ariyaniasparagus
PENGENALAN
MODEL JURISPRUDENSIAL
1
Model Jurisprudensial
Model Penelitian Jurisprudensial dipelopori oleh Donal Oliver
dan James P. Shaver dari Harvard yang didasari pada pemahaman bahwa setiap
orang berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain dengan nilai sosial saling
berhadapan. Untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan pandangan
masyarakat, setiap anggota masyarakat dituntut untuk mampu berbicara dan
bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan.
Pendidikan harus mampu menghasilkan individu yang mampu
mengatasi konflik perbedaan dalam berbagai hal. Model pembelajaran ini membantu
siswa untuk belajar berpikir sistematis tentang isu-isu sosial membantu siswa
berpartisipasi dalam mendefinisikan ulang nilai-nilai sosial tersebut, sehingga
siswa peka terhadap permasalahan sosial, berani mengambil sikap, mempertahankan
sikap tersebut dengan argumentasi yang relevan dan valid. Siswa juga dituntut
bisa menerima atau menghargai sikap orang lain yang mungkin berbeda dan
bertentangan dengan sikapnya.
Sebelum mengambil sikap siswa harus mempunyai pengetahuan
dibidang sejarah, sosiologi, ekonomi dan politik. Sehingga bidang kajian yang
tepat untuk model pembelajaran Penelitian Jurisprudensial adalah konflik
rasial, etnis, ideologi, keagamaan, keamanan, konflik antar golongan, ekonomi,
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan keamanan nasional.
Variable pembelajaran model ini terukur dari: (1) kemampuan
siswa dalam menelaah berbagaipermasalahan public, dengan cara memaparkan
kesalahan/pelanggaran yang terjadi, menganalisa posisi hokum dari dua sisi. (2)
Sikap demokratis, hal ini ditandai dengan siswa berdialog, yaitu menghargai
pendapat orang lain. (3) Pengetahuan guru yang luas, ditandai dengan penguasaan
guru terhadap permasalahan pokok yang terjadi di dalam masyarakat.
Dapat disimpulakan pembelajaran model Jurisprudru terhadap
ensial adalah pembelajaran dengan cara penelitian demokratis terhadap
permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan cara
berfikir kritis berdasarkan nilai-nilai sosial yang terdapat dimasyarakat
2
Prinsip-prinsip Model Jurisprudensial
Prinsip-prinsip Model Jurisprudensial adalah sebagai berikut:
a. Mengabstraksikan
nilai-nilai umum dari situasi-situasi nyata. Jadi pebelajar mencoba melihat dan
meletakkan masalah/situasi-situasi konkrit kedalam kerangka etik yang berlaku
umum.
b. Penggunaan
konsep-konsep nilai umum. Ini berarti pebelajar melihat kemungkinan dari konsep
nilai yang dapat dipergunakan.
c. Identifikasi
pertentangan/perbedaan antara nilai. Dengan kata lain menentukan lebih dari
satu nilai yang dapat diabstraksi pada suatu situasi.
d. Identifikasi kelompok
nilai dari situasi-situasi yang bertentangan. Dalam hal ini pebelajar belajar
mengidentifikasikan masalah-masalah nyata daripada melihat persamaan dan
perbedaannya, serta mengembangkan kosep daripada situasi yang kontro-versial.
e. Mengembangkan analogi
bagi masalah-masalah. Dalam hal ini pebelajar melihat konsistensi dan ketidak
konsistensiannya. Misalnya bila kita mengidentifikasi 5 (lima) situasi yang berkaitan dengan nilai
yang sama, maka kita akan menentukan posisi kita atas nilai yang konsisten
dengan membuat analogi-analogi dan membandingkannya dengan nilai tiap situasi
itu.
f. Melangkah
kepada posisi umum yang qualified. Dalam hal ini pebelajar akan mengambil
keputusan atas dua nilai yang bertentangan. Keputusan tersebut menuju kepada
hal yang dapat diterima secara umum dalam masyarakat.
g. Menguji
keputusan-keputusan nilai yang telah diambil. Dalam hal ini pebelajar menguji
sejauh mana efektifnya asumsi-asumsi atau keputusan yang telah diambil itu.
h. Menguji relevansinya
keputusan itu untuk situasi khusus. Di sini pebelajar menguji untuk situasi
sosial mana saja keputusan nilai yang telah diambil dapat berlaku.
Hakekat daripada model pembelajaran ini adalah mengembangkan kegiatan-kegiatan
intelektual lewat dialog menurut prinsip di atas. Dialog pada model ini dikenal
dengan dialog Socrates, siswa memposisikan diri dengan pendapatnya dan guru
aktif memberikan pertanyaan. Pertanyaan dari guru mendorong siswa aktif untuk
mengkritisi permasalahan
3 Gambaran Karakteristik
Model Penelitian Jurisprudensial
Oliver and Shaver, (1966/1974, hal. 89) membagi tiga macam jenis masalah
yang dapat dipresentasikan dalam pembelajaran menggunakan model
Jurisprudensial: (1) Value Problem, menjelaskan dengan memberikan penilaian
berdasarkan prinsip-prinsip umum pada permasalahan tersebut. (2) Factual
Problem, menjelaskan fakta kejadian yang sedang terjadi saat ini/hot issue.
(3) Defenition problem, menjelaskan makna yang sesungguhnya
menjadi kontroversi
Gambaran karakteristik model Jurisprudensial ini adalah
sebagai berikut (menurut Joyce dan weil 1986):
(1)
Sintakmatik.
Tahap
ini mengidentifikasi isu-isu sosial. Guru menyajikan beberapa isu-isu sosial
yang bersumber baik pada bahan pelajaran atau situasi sosial yang ada dalam
masyarakat. Lalu melakukan dialog menurut langkah-langkah kegiatan intelektual.
Guru membimbing dan memimpin diskusi. Tahap sintak matik secara rinci adalah:
a.
Pengenalan terhadap kasus.
- Guru memperkenalkan kasus kepada siswa atau
isu terbaru dengan bercerita, memutar film atau menggambarkan kejadian hangat
yang terjadi dalam masyarakat.
- Guru mengkaji ulang data yang menggambarkan
kasus.
b.
Mengidentifikasi kasus/memecahkan masalah. Siswa memsisntesis fakta
kedalam isu yang dihadapi, mengaitkan dengan isu umum dan mengidentifikasi
nilai-nilai yang terlibat. Siswa juga memiliki keterampilam untuk mengkaji.
Tingkat kerumitan pada tiapkajian harus di sesuaikan dengan tingkat usia dan
lingkungan siswa.
c.
Menetapkan posisi. Siswa diminta untuk mengambil posisi mengenai isu
tersebut dan menyatakan sikap menerima atau menolak.
d.
Mengeksplorasi contoh dan argumentasi terhadap sikap. Siswa diminta
menggali lebih dalam sikapnya dengan meneksplorasi contoh dengan memberikan
argumen logis dan rasional. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan konfrontatif
kepada siswa tentang sikapnya. Siswa diuji konsistensi sikapnya dengan
mempertahankan sikap dengan argumennya.
e.
Menguji posisi. Jika argumen kuat, logis dan rasional maka siswa akan
mempertahankan sikapnya (konsisten) dan posisi siswa dapat berubah
(inkonsisten) jika argumen tidak kuat.
f.
Menguji asumsi. Guru mendiskusikan apakah argumentasi yang digunakan
untuk mendukung sikap relevan atau valid.
(2)
Prinsip Reaksi
Guru
menjaga suasana intelektual dimana semua pendapat dihargai, mengarahkan debat
kepada potensi-potensi yang benar. Guru menjamin iklim intelektual dalam
diskusi sehingga semua pandangan yang diungkapkan siswa dihormati oleh siswa
lain. Guru memelihara kekuatan intelektual dalam debat secara kontinu yang
menekankan pada enam langkah kerangka Jurisprudensial.
(3) Sistem Sosial
Guru
sebagai moderator mengambil inisiatif dan mengontrol diskusi dalam suasana
keterbukaan intelektual. Kerangka kerja Jurisprudensial dibangun dengan asumsi
akan ada dialog hangat, membuat situasi kurang dan lebih demokratis dengan
pandangan kritis masing-masing dan pemikiran yang setara dan juga subjek
sama-sama teliti. Iklim sosial akan terjadi untuk analisis kritis terhadap
nilai yang hanya mungkin terbuka. Disinilah peran guru untuk menekankan
jalannya dialog dengan memainkan peran memimpin dan bertanggungjawab menjadikan
debat solid dan isu dieksplorasi secara baik.
(4)
Sitem Pendukung
Dua
jenis pendukung diperlukan dalam model pembelajaran Jurisprudensial. (1) Guru
meminta siswa untuk mengidentifikasi informasi yang difokuskan pada situasi
masalah yang dibahas. (2) Akses/sumber-sumber lain mengkondisikan siswa belajar
nilai dan memiliki identifikasi etika dan posisi hukum yang dapat dibawa untuk
mendukung dalam diskusi.
(5)
Dampak Instruksional dan dampak Pengiring
Model pembelajaran Jurisprudensial dirancang untuk
mengajarkan secara langsung, Komitmen terhadap peranan orang lain dan kemampuan
untuk berdialog. Secara tidak langsung mempunyai kemampuan menganalisis isu-isu
sosial, menghargai pluralisme, memahami fakta-fakta masalah sosial dan
kemampuan berpartisipasi dan kesediaan melakukan tindakan sosial.
Penggunaan model Juresprudensial diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan instructional effects dan nurturant effects seperti terlihat pada
diagram berikut ini:
Gambar
1.9. Model Pembelajaran Penelitian Juresprudensial
Adapun
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
(1) Orientasi kasus, pada tahapan ini pengajar
memperkenalkan materi pelajaran dan mereviu data yang ada.
(2) Mengidentifikasi kasus, pada tahapan ini, siswa
mensintesiskan fakta-fakta ke dalam suatu kasus yang dihadapi, memilih salah
satu kasus kebijaksanaan pemerintah untuk didiskuskan, mengidentifikasi
nilai-nilai dan konflik yangterjadi, mengenali fakta yang melatarbelakangi
kasus dan pertanyaan yang terdefinisikan.
(3) Menetapkan posisi, pada tahapan ini siswa
menimbang-menimbang posisi atau kedudukannya, kemudian menyatakan kedudukannya
dalam konflik nilai tersebut dan dalam hubungannya dengan konsekuensi dari
kedudukan itu.
(4) Mengeksplorasi contoh-contoh dan pola-pola
argumentasi, pada tahapan ini siswa menetapkan titik di mana tampak adanya
perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh, membuktikan konsekuensi yang
diinginkan dan yang tidak diinginkan dari posisi yang dipilih, menjernihkan
konflik nilai dengan melakukan proses analogi, menetapkan prioritas dengan cara
membandingkan nilai yang satu dengan yang lainnya dan mendemonstrasikan
kekurangannya bila memiliki salah satu nilai.
(5) Menjernihkan dan menguji posisi, pada tahapan ini
siswa menyatakan posisinya dan memberikan rasional mengenai posisinya tersebut,
dan kemudian menguji sejumlah situasi yang serupa, siswa meluruskan posisinya.
(6) Menguji asumsi faktual yang melatarbelakangi posisi
yang diluruskannya, pada tahapan ini siswa mengidentifikasi asumsi faktual dan
menetapkan sesuai atau tidaknya, menetapkan konsekuensi yang diperkirakan dan
menguji kesahihan faktual dari konsekuensi tersebut.
APLIKASI MODEL PENELITIAN JURISPRUDENSIAL DALAM
PEMBELAJARAN
Model Penelitian Jurisprudensial termasuk pada pembelajaran inovatif.
Karena pembelajaran dengan menggunakan model ini berhubungan dengan sosial.
Model ini menuntut guru agar kreatif dan inovatif terhadap isu yang berkembang
dalam masyarakat dan mengaitkannya kedalam proses belajar. Seseorang guru harus
menggali wawasan yang cukup dan mengambil posisi terlebih dahulu dengan
argumentasi yang cukup. Pada saat dikelas dia akan mudah memberikan pertanyaan
konfrontatif begitu posisi siswa telah ditetapkan.
Seorang guru seharusnya mempersiapkan pertanyaan konfrotatif sesuai
dengan isu yang akan didialogkan dalam kelas sehingga dialog terjadi secara
alami dan tidak terkesan kaku. Strategi belajar ini menuntut dialog interaktif
antara guru dengan siswa untuk mengeksplorasi ranah publik yang kontroversial
sehingga dimungkinkan terjadi dialog hangat yang bisa mengarah ke debat kusir.
Disinilah peran guru dituntut untuk mengembangkan iklim intelektual dalam debat.
Untuk mengubah model pembelajaran dari ceramah yang tidak menuntut
keaktifan siswa ke model Jurisprudensial yang menuntut siswa aktif, akan
menyulitkan guru pada awalnya karena tidak biasa dalam menyusun persiapan dan
tindakan di kelas. Siswa juga sulit mengutarakan pendapat pada awalnya, dan
akan menjadi kebiasaan berpendapat jika diterapkan setiap kali berkembang isu
hangat didalam proses belajar. Terlihat jelas dalam prosesnya terdapat proses
berfikir kritis, peka dan kreatif. Setiap siswa yang memberikan pendapat
disertakan dengan jalan keluar menurut mereka masing-masing.
IV.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN MODEL JURISPRUDENSIAL DALAM PEMBELAJARAN
Kelebihan model Penelitian Jurisprudensial
1. Memotivasi siswa untuk aktif
menganalisis sebuah kasus sehingga tidak mudah menentukan sikap dan
menyimpulkan tanpa dasar.
2. Memotivasi siswa untuk
berdebat secara aktif dan memberi argumen logis dan rasional, sehingga
meningkatkan kemampuan verbal siswa.
3. Mengembangkan keterbukaan
dan menghargai perbedaan pendapat.
4. Mengembangkan pengetahuan
dan wawasan siswa tentang sebuah kasus.
5. Banyak isu sosial yang
berkembang dalam masyarakat sehingga model ini mudah diterapkan untuk setiap
kompetensi dasar.
Kelemahan model Penelitian Jurisprudensial
1. Membutuhkan implementasi
yang cukup lama karena perubahan metode pembelajaran sebelumnya yang tidak
menuntut keaktifan siswa.
2. Sulit untuk mengarahkan
argumentasi siswa pada awalnya karena tidak semua siswa mempunyai pengetahuan
yang cukup sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi debat kusir.
V.
PENUTUP
Pembelajaran dengan menggunakan model penelitian
Jurisprudensial sangat cocok belajar ilmu-ilmu sosial yang selalu
mengimplementasikan isu-isu terkini. Pelaksanaannya dapat dipadukan dengan
model lain seperti ceramah, agar lebih efektif dalam mencapai tujuan belajar.
Dalam pengembangan model ini ada beberapa prinsip-prinsip
yang harus diperhatikan. Dalam pelaksanaannya, model ini termasuk dalam
pembelajaran inovatif. Karakteristik Model Penelitian Jurisprudensial adalah
memiliki sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung dan
dampak intruksional dan pengiring.
Model Penelitian Jurisprudensial memotivasi siswa
untuk aktif, berani berdialog, berpendapat, bersikap, menganalisis sikap,
berargumentasi dan menghargai perbedaan pendapat.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana tujuan dan asumsi pembelajaran model jurisprudensial ?
2.
Apa saja tahapan model pembelajaran jurisprudensial ?
3.
Bagaimana struktur dari model pembelajaran jurisprudensial ?
4.
Bagaimana reaksi pengajar dari pembelajaran jurisprudensial ?
5.
Apa bahan utama yang diperlukan dalam model pembelajaran jurisprudensial
?
6.
Apa dampak instruksional dan pengiring dari model pembelajaran
jurisprudensial ?
MODEL
PEMBELAJARAN JURISPRUDENSIAL
A.
TUJUAN DAN ASUMSI
Sebagaimana dijelaskan oleh Joyce dan Weil (1986:260-267) model ini
memiliki sejumlah karakteristik. Dasar pemikiran model ini adalah konsepsi
tentang masyarakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai
nilai sosial yang secara hukum saling bertentangan satu dengan yang lain untuk
memecahkan masalah yang kontrovensional dalam konteks sosial yang produktif.
Setiap warga negara perlu mempunyai kemampuan untuk dapat berbicara
kepada orang lain dan berhasil dengan baik melakukan kesempatan dengan orang
lain.
Setiap warga negara harus mampu menganalisis secara cerdas dan mengambil
contoh masalah sosial yang paling tepat, yang pada hakikatnya berkenaan dengan
dengan konsep keadilan, hak asasi manusia yang memang menjadi inti dari
kehidupan demokrasi. Untuk dapat melakukan aktivitas tersebut harus diperlukan
tiga kemampuan, yakni:
a) mengenal
dengan baik nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan politik yang ada di
lingkungan negaranya.
b) memiliki
seprangkat keterampilan untuk dapat digunakan dalam menjernihkan dan memecahkan
masalah nilai; dan
c)
menguasai atau memiliki pengetahuan tentang masalah politik yang
bersifat kontemporer yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan negaranya.
Hal yang paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam model ini ialah:
konflik antargolongan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan serta
keamanan nasional. Lingkup dan tingkat kemampuan dari masing-masing bidang
kajian tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan tingkat usia dan
lingkungan siswa.
B.
SINTAKMATIK
Model jurisprudensial ini memiliki enam tahap, di antaranya
sebagai berikut.
Tahap Pertama: Orientasi Terhadap Kasus.
a)
pengajaran mengenalkan bahan-bahan ; dan
b)
pengajaran melihat ulang data yang tersedia.
Tahap Kedua:
Mengidentifikasi Isu atau Kasus.
a)
Siswa mensintesiskan fakta-fakta ke dalam isu yang dihadapi;
b)
Siswa memilih salah satu isu kebijakan pemerintah untuk didiskusikan;
c)
Siswa mengidentifikasikan nilai-nilai dan konflik nilai; dan
d)
Siswa mengenali fakta yang melatarbelakangi isu dan pertanyaan yang
didefinisikan.
Tahap Ketiga:
Menetapkan Posisi
Siswa
menimbang-nimbang posisi atau kedudukannya. Kemudian penyatakan kedudukannya
dalam konflik nilai itu dalam hubungannya dengan konsekuensi dari kedudukan
itu.
Tahap
Keempat:Mengeksplorasi Contoh-contoh dan Pola Argumentasi.
Menetapkan titik
di tempat terlihat adanya perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh;
a)
Membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan tidak diinginkan dari posisi
yang dipilih;
b)
Menjernihkan konflik nilai dengan melakukan proses analogai; dan
c)
menetapkan prioritas dengan cara membandingkan nilai yang satu dengan
yang lain dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai.
Tahap Kelima:
Menjernihkan dan menguji posisi .
a)
Siswa menyatakan posisinya dan memberikan rasioanal mengenai posisinya
dan kemudian menguji sejumlah situasi yang serupa ; dan
b)
Siswa meluruskan posisinya
Tahap Keenam:
Mengetes asumsi Faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluluskan.
a)
mengidentifikasi asumsi faktual dan menetapkan sesuai tindakannya;dan
b)
menetapakan kosekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan faktual
dan kosekuensi itu.
C.
SISTEM SOSIAL
Struktur dari model ini bervariasi mulai dari yang berstruktur sederhana
sampai yang kompleks. Secara umum, pengajar mulai membuka tahapan dan bergerak
dari tahap satu ke tahap yang lainnya tergantung pada kemampuan para siswa
untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya untuk setiap tahapan. Setelah siswa
mengalami satu kali proses jurisprudensial, diharapakn masing-masing akan dapat
melakukannya tanpa bantuan dari orang lain.
D.
PRINSIP REAKSI
Reaksi pengajar, terutama terjadi pada tahap keempat dan kelima tidak
bersifat evaluatif dan tidak menyetujui. Apa yang dilakukan oleh pengajar dalam
hal ini hanyalah berupa reaksi terhadap komentar siswa dengan cara memberikan
pertanyaan mengenai relevansi, keajegan, kekhususan, atau keumuman dan kejelasan
secara definisi. Untuk dapat mengatisipasi nilai yang dianjurkan untuk
melacaknya lebih jauh. Peranan pengajar dalam model ini lebih mendekati pada
metode dialog gaya
Socrates yang memiliki ciri dialektis.
E.
SISTEM PENDUKUNG
Bahan utama yang diperlukan dalam model ini adalah sumber-sumber dokumen
yang relavan dengan masalah. Seyognya disediakan sumber-sumber yang
dipublikasikan secara resmi mengenai kasus-kasus faktual. Atau dapat pula
pengajar mengembangkan dengan cara merangkum informasi mengenai kasus-kasus
dari berbagai sumber informasi yang sangat langka, atau yang memang sukar
diperoleh oleh siswa. Di dalam menerangkan model ini perlu diperhatikan
hal-hal, seperti tingkat usia siswa dan lingkungan belajar yang ada.
F.
DAMPAK INSTRUKSIONAL DAN PENGIRING
Model jurisprudensial ini memiliki dampak instruksional dan pengiring,
sebagaimana terlihat dengan gambar berikut:
NO
|
MODEL
JURISPRUDENSIAL
|
|
DAMPAK
INSTRUKSIONAL
|
DAMPAK
PENGIRING
|
|
1
|
Kerangka untuk
menganalisis isu-isu Sosial
|
Empathy/pluralisme
|
2
|
Kemampuan
Mengasumsikan Peranan Orang lain
|
Fakta tentang
Masalah Sosial
|
3
|
Kemampuan
dalam Berdialog
|
Kemampuan
untuk berpartisipasi dan kesediaan untuk melakukan tindakan sosial
|
Untuk kepentingan praktis, para pembelajar dapat mengaplikasikan dengan
menggunakan kerangka operasional sebagai berikut:
No.
|
Model Jurisprudensial
|
||
Kegiatan
Pengajar
|
Langkah Pokok
|
Kegiatan Siswa
|
|
1.
|
Perkenalkan
bahan-bahan ; dan
review
data yang tersedia
|
Orientasi
kasus
|
Temukan
dan pilih suatu kasus
|
2.
|
Ciptakan
suasana menantang
|
Identifikasi
masalah
|
Kaitkan
fakta dengan kasus;
rumuskan
satu masalah; dan
identifikasi
konflik nilai
|
3.
|
Ajukan
pertanyaan nilai
|
Penetapan
posisi
|
Jajaki
berbagai posisi nilai; dan
antisipasi
konsekuesi setiap posisi.
|
4.
|
Minta
contoh dan alasannya
|
Contoh
dan argumentasi
|
Cari
variasi contoh yang mendukung, posisi yang dipilih; dan
|
5.
|
Minta
satu pilihan nilai
|
Penguji
posisi
|
Nyatakan
satu posisi nilai; dan
beri
penalaran atas posisi tersebut
|
6.
|
Ajukan
variasi pelacakan
|
Pengetesan
asumsi
|
Kaji
kesahihan posisi nilai yang dipilih.
|
PEMBAHASAN
Sebagaimana dijelaskan oleh Joyce dan Weil (1986:260-267)
model ini memiliki sejumlah karakteristik. Dasar pemikiran model ini adalah
konsepsi tentang masyarakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda
mengenai nilai sosial yang secara hukum saling bertentangan satu dengan yang
lain untuk memecahkan masalah yang kontrovensional dalam konteks sosial yang
produktif.
Hal yang paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam
model ini ialah: konflik antargolongan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan
kesejahteraan serta keamanan nasional. Lingkup dan tingkat kemampuan dari
masing-masing bidang kajian tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan
tingkat usia dan lingkungan siswa.
Model
jurisprudensial ini memiliki enam tahap, di antaranya sebagai berikut.
1. Orientasi
Terhadap Kasus.
2. Mengidentifikasi
Isu atau Kasus.
3. Menetapkan
Posisi
4. Mengeksplorasi
Contoh-contoh dan Pola Argumentasi.
5. Menjernihkan
dan menguji posisi .
6. Mengetes
asumsi Faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluluskan.
Secara umum, pengajar mulai membuka tahapan dan bergerak dari
tahap satu ke tahap yang lainnya tergantung pada kemampuan para siswa untuk
menyelesaikan tugas-tugas belajarnya untuk setiap tahapan. Setelah siswa
mengalami satu kali proses jurisprudensial, diharapakn masing-masing akan dapat
melakukannya tanpa bantuan dari orang lain.
Reaksi pengajar, terutama terjadi pada tahap keempat dan
kelima tidak bersifat evaluatif dan tidak menyetujui. Apa yang dilakukan oleh
pengajar dalam hal ini hanyalah berupa reaksi terhadap komentar siswa dengan
cara memberikan pertanyaan mengenai relevansi, keajegan, kekhususan, atau
keumuman dan kejelasan secara definisi. Untuk dapat mengatisipasi nilai yang
dianjurkan untuk melacaknya lebih jauh. Peranan pengajar dalam model ini lebih
mendekati pada metode dialog gaya
Socrates yang memiliki ciri dialektis.
Model jurisprudensial ini memiliki dampak instruksional dan
pengiring.
Dampak instruksional :
1.
Kerangka untuk menganalisis isu-isu Sosial
2.
Kemampuan Mengasumsikan Peranan Orang lain
3.
Kemampuan dalam Berdialog
Dampak
pengiring :
1.
Empathy/pluralism
2.
Fakta tentang Masalah Sosial
3.
Kemampuan untuk berpartisipasi dan kesediaan untuk melakukan tindakan
sosial
Untuk kepentingan praktis, para pembelajar dapat mengaplikasikan dengan
menggunakan kerangka operasional sebagai berikut:
Kegiatan
Pengajar :
(1)
Perkenalkan bahan-bahan dan review data yang tersedia (2) Ciptakan
suasana menantang (3) Ajukan pertanyaan nilai (4) Minta contoh dan alasannya
(5) Minta satu pilihan nilai (6) Ajukan variasi pelacakan
Langkah – langkah pokok
(1)
Orientasi kasus (2) Identifikasi masalah, (3) Penetapan posisi (4) Contoh
dan argumentasi (5) Penguji posisi (6) Pengetesan asumsi
Kegiatan siswa :
(1)
Temukan dan pilih suatu kasus (2) Kaitkan fakta dengan kasus; rumuskan
satu masalah; dan identifikasi konflik nilai (3) Jajaki berbagai posisi nilai;
dan antisipasi konsekuesi setiap posisi.(4) Cari variasi contoh yang mendukung,
posisi yang dipilih; (5) Nyatakan satu posisi nilai; dan beri penalaran atas
posisi tersebut (6) Kaji kesahihan posisi nilai yang dipilih.
PENUTUP
Model pembelajaran jurispudensial ini melatih siswa untuk
peka termadap permasalahan sosial, mengambil posisi/sikap terhadap permasalahan
tersebut, serta mempertahankan sikap tersebut dengan argumentasi-argumentasi
yang relevan dan valid.
Hal yang paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam
model ini ialah: konflik antargolongan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan
kesejahteraan serta keamanan nasional. Lingkup dan tingkat kemampuan dari
masing-masing bidang kajian tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan
tingkat usia dan lingkungan siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Model Penelitian Jurisprudensial
Model Jurisprudensial dipelopori oleh Donal Oliver dan James P.
Shaver dari Harvard (Winataputra,2001) yang disadari pada pemahaman bahwa
setiap orang berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain dengan nilai sosial
saling berhadapan. Untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan
pandangan masyarakat dituntut untuk mampu berbicara dan bernogasiasi untuk
mampu berbicara dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan.
Pendidikan harus mampu menghasilkan individu yang mampu
mengatasi konflik perbedaan dalam berbagai hal. Model pembelajaran ini membantu
siswa untuk belajar berpikir sistematis tentang isu-isu sosial mambantu siswa
berpartisipasi dalam mendefenisikan ulang nilai-nilai sosial tersebut sehingga
siswa berpatisipasi dalam mendefenisikan ulang nilai-nilai sosial tersebut
dengan argumentasi yang relevan dan valid. Siswa juga dituntut bisa menerima
atau menghargai sikap orang lain yang mungkin berbeda dan bertentangan dengan
sikapnya.
Sebelum mengambil sikap siswa harus mempunyai pengetahuan
dibandingkan sejarah sosialogi ekonomi dan politik. Sehingga bidang kajian yang
tepat untuk model pembelajaran Jurisprudensial adalah konflik antar golongan
ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan keamanan nasional.
2.2. Sintakmatik
Model Jurisprudensial memiliki enam
tahap dalam pembelajaran (Joyce dan Weil, 1986) yaitu :
1.
Pengenalan terhadap kasus :
a. Guru memperkenalkan kasus kepada siswa atau isu terbaru
dengan bercerita memutar film atau mengembangkan kejadian hangat yang terjadi
dalam masyarakat.
b. Guru mengkaji ulang data yang menggambarkan kasus.
2. Mengidentifikasi kasus siswa memsistensis fakta kedalam isu
yang dihadapi mengaitkan dengan isu umum dan mengidentifikasi nilai-nilai yang
terlibat.
3. Menetapkan posisi siswa diminta untuk mengambil posisi
mengenal isu tersebut dan menyatakan sikap menerima atau menolak.
4. Mengeksplorasi contoh dan argumentasi terhadap sikap siswa
diminta lebih dalam sikapnya dengan memberikan argumentasi logis dan rasional.
Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan kontrontatif kepada sikapnya. Siswa diuji
konsisten sikapnya dengan mempertahankan sikap dengan argumentasi.
5. Menguji posisi. Jika argument kuat, logis dan rasional maka
siswa akan mempertahankan sikapnya (konsisten) dan posisi siswa dapat berubah
(inkonsisten) jika argument tidak kuat.
6. Menguji asumsi. Guru mendiskusikan apakah argumentasi yang
digunakan untuk mendukung sikap relevan atau valid.
2.3. Sistem Sosial
Kerangka kerja Jurisprudensial dibangun dengan asumsi akan ada
dialog hangat dan lebih demokrasi dengan adanya pandangan kritis masing-masing
siswa dan pemikiran yang setara dan juga subjek yang sama. Iklim sosial akan
terjadi untuk analisis kritis terhadap nilai yang hanya mungkin terbuka.
Disinilah peran guru untuk menekankan jalannya dialog dengan enam operasional
yang memainkan peran memimpin dan bertanggung jawab menjadikan debat solid dan
isu dieksplorasi secara baik.
2.4. Prinsip Reaksi
Guru menjamin iklim intelektual dalam diskusi sehingga semua
pandangan yang diungkapkan siswa dihormati oleh siswa lain. guru memelihara
kekuatan intelektual dalam debat secara kontinu yang menekankan pada enam
langkah kerangka Jurisprudensial.
2.5. Sistem Pendukung
Sistem pendukung dalam model Jurisprudensial
diperlukan dua jenis. Pertama, guru meminta siswa untuk mengidentifikasi
informasi yang difokuskan pada situasi masalah. Kedua, guru mengkondisikan
siswa belajar nilai dan memiliki identifikasi etika dan posisi hukum yang dapat
dibawa untuk mendukung dalam diskusi.
2.6. Dampak Instruksional dan
Pengiring
Model pembelajaran Jurisprudensial
dirancang untuk mengajarkan siswa secara langsung berkomitmen terhadap peranan
orang lain dan kemampuan untuk berdialog. Secara tidak langsung mempunyai kemampuan
menganalisis isu-isu sosial, menghargai pluralism, memahami fakta-fakta masalah
sosial dan kemampuan berpartisipasi serta kesediaan melakukan tindakan sosial.
2.7. Analisis Kritis
Model Jurisprudensial menuntut guru
agar kreatif dan inovatif terhadap isu yang berkembang dalam masyarakat dan
mengaitkannya kedalam proses belajar. Seseorang guru harus menggali wawasan
yang cukup dan mengambil posisi terlebih dahulu dengan argumentasi yang cukup.
Pada saat dikelas siswa akan mudah memberikan pertanyaan konfrontatif begitu
masalah telah ditetapkan.
Seorang guru harus mempersiapkan
pertanyaan konfrontatif sesuai dengan isu yang akan di dialogkan dalam kelas
sehingga dialog terjadi secara alami dan tidak terkesan kaku. Strategi belajar
ini menuntut dialog interaktif antara guru dengan siswa untuk mengeksplorasi
ranah public yang kontroversi sehingga dimungkinkan terjadi dialog hangat yang
bisa mengarah ke debat kusir. Disinilah peran guru dituntut untuk mengembangkan
iklim intelektual dalam debat. Untuk mengubah model pembelajaran dari ceramah
yang tidak menuntut keaktifan siswa ke model Jurisprudensial yang menuntut
siswa aktif. Model ini akan menyulitkan guru pada awalnya karena tidak biasa
dalam menyusun persiapan dan tindakan di kelas. Siswa juga sulit mengutarakan
pendapat pada awalnya dan akan menjadi kebiasaan berpendapat jika diterapkan
setiap kali berkembang isu hangat di dalam proses belajar.
2.8. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
model Jurisprudensial yaitu :
1.
memotivasi siswa untuk aktif menganalisis sebuah kasus sehingga tidak mudah
menentukan sikap dan menyimpulkan tanpa dasar.
2.
Memotivasi siswa untuk berdebat secara aktif dan memberikan argument logis dan
rasional.
3.
Mengembangkan keterbukaan dan menghargai perbedaan pendapat.
4.
Mengembangkan pengetahuan dan wawasan siswa.
5.
Banyak isu sosial dalam masyarakat sehingga model ini mudah diterapkan.
Kelemahan model Jurisprudensial
yaitu:
1.
Membutuhkan implementasi yang cukup lama karena perubahan metode pembelajaran
sebelumnya yang tidak menuntut keaktifan siswa.
2.
Sulit untuk mengarahkan argumentasi siswa pada awalnya karena tidak semua siswa
mempunyai pengetahuan yang cukup sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi
debat kusir.
Contoh RPP Menggunakan Model
Jurisprudensial
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP)
I. Identitas
Nama
Sekolah : SMA YPMM
Mata
Pelajaran : Sosiologi
Kelas/semester : XII IPS/ II
Alokasi
Waktu : 40 x 3 ( 1x
Pertemuan)
Pertemuan
ke : ……….
Hari/
tanggal : ……….
II. Standar Kompetensi : Memahami fenomena
remaja masa kini yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
III. Kompetensi Dasar :
1.
Mendeskripsikan Penyebab Fenomena yang terjadi di kalangan remaja.
2.
Menganalisis fenomena remaja di sekitarnya
3.
Menghargai Perbedaan Pendapat.
4.
Mengidentifikasi peran pemerintah.
IV. Tujuan Pembelajaran :
1.
Siswa dapat mengidentifikasi fenomena sosial yang sering terjadi di kalangan
remaja.
2.
Siswa dapat mendiskripsikan faktor penyebab terjadinya fenomena sosial di
kalangan remaja.
3.
Siswa mampu memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dalam kehidupannya.
4.
Siswa mampu beragumentasi dengan data dan fakta yang valid
V. Indikator Pencapaian
1.
Menjelaskan secara sederhana pengertian fenomena anak remaja
2.
Memberikan contoh fenomena anak remaja masa kini
3.
Memilih salah satu contoh fenomena sosial
4.
Memecahkan masalah bersama
5.
Mengemukakan pendapat siswa
6.
Menghargai pendapat siswa
7.
Memberi kesimpulan
VI. Materi Pembelajaran
1.
Pola kehidupan remaja masa kini.
2.
Faktor-faktor penyebab terjadinya fenomena anak remaja.
3.
Peran Pemerintah untuk mengatasi fenomena anak remaja.
VII. Metode
Debat
individu
VIII. Langkah-langkah pembelajaran
A. Kegiatan
Pendahuluan (15 menit)
Apersepsi : Guru membuka pelajaran dengan mengucapkan
salam, mengabsen kehadiran.
-
Motivasi : Guru menjelaskan tentang
indikator yang diharapkan dalam mencapai kegiatan pembelajaran.
- Guru menerangkan topik
permasalahan
- Guru meminta siswa memperhatikan
video yang akan diputar
B. Kegiatan Inti
(80 menit)
- Guru memulai
dengan pemutaran video fenomena anak remaja
- Siswa
megamati peristiwa apa yang terjadi
- Siswa diminta
untuk mengeluarkan pendapatnya di buku
- Guru memulai dengan argumentasinya mengenai peristiwa yang
terjadi.
- Guru meminta
satu orang siswa mengeluarkan argumentasi
- Guru meminta siswa lain menaggapi dan melakukan perdebatan
sesuai dengan pendapatnya masing-masing.
C. Penutup
- Memberikan kesimpulan materi pembelajaran
- Memberikan manfaat dari model yurisprudensial
- Memberikan Apresiasi terhadap proses pembelajaran siswa.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari
apa yang telah dijelaskan di atas mengenai model pembelajaran Jurisprudensial,
maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Karakteristik model Jurisprudensial adalah memiliki
sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dampak
intruksional dan pengiring.
2. Dibutuhkan wawasan dan pengetahuan yang cukup untuk
menganalisis isu baik oleh guru maupun siswa.
3. Dibutuhkan kreatifitas guru dalam membuat perencanaan dan
tindakan dalam kelas.
4. Model Jurisprudensial memotivasi siswa untuk aktif, berani
berdialog, berpendapat, bersikap menganalisis, beragumentasi, dan menghargai
perbedaan pendapat.
BAB
II
PEMBAHASAN
Model ini
dirancang untuk siswa dalam studi sosial dan menyiratkan metode kasus sebuah
studi, mengingatkan pendidikan hukum. Studi kasus yang melibatkan masalah
sosial di daerah-daerah di mana kebijakan publik harus dilakukan (keadilan dan
kesetaraan, kemiskinan dan kekuasaan dll) Mereka dituntun untuk
mengidentifikasi kebijakan publik isu-isu serta pilihan yang tersedia untuk
berhubungan dengan mereka dan nilai-nilai yang mendasari orang-orang pilihan.
Model ini dapat digunakan di daerah manapun di mana ada isu-isu kebijakan
publik, karena etika misalnya dalam ilmu pengetahuan, bisnis dan olahraga dan
lain-lain
Keterangan dari sumber lain:
Model ini didasarkan pada konsepsi masyarakat di mana orang berbeda pandangan dan prioritas dan nilai-nilai sosial yang sah bertentangan dengan satu lain. Menyelesaikan kompleks, isu-isu kontroversial dalam konteks tatanan sosial yang produktif membutuhkan warga negara yang dapat berbicara satu sama lain dan berhasil bernegosiasi tentang perbedaan mereka.
Daerah Umum Masalah
Ras dan etnis konflik
Keagamaan dan ideologis konflik
Keamanan individu
Konflik antara kelompok-kelompok ekonomi
Kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan
Keamanan bangsa
Lainnya
Keterangan dari sumber lain:
Model ini didasarkan pada konsepsi masyarakat di mana orang berbeda pandangan dan prioritas dan nilai-nilai sosial yang sah bertentangan dengan satu lain. Menyelesaikan kompleks, isu-isu kontroversial dalam konteks tatanan sosial yang produktif membutuhkan warga negara yang dapat berbicara satu sama lain dan berhasil bernegosiasi tentang perbedaan mereka.
Daerah Umum Masalah
Ras dan etnis konflik
Keagamaan dan ideologis konflik
Keamanan individu
Konflik antara kelompok-kelompok ekonomi
Kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan
Keamanan bangsa
Lainnya
Model pembelajaran
B.
SINTAKS
Meskipun eksplorasi dialog sikap konfrontatif siswa 'adalah jantung dari model inguiry yurisprudensi, beberapa kegiatan lainnya sangat penting, seperti membantu para siswa merumuskan sikap mereka akhirnya membela dan membantu mereka merevisi posisi mereka setelah argumentasi tersebut. model dasar meliputi enam fase
Dalam fase satu, guru memperkenalkan siswa untuk bahan kasus dengan membaca sebuah cerita atau narasi sejarah keras-keras, menonton film yang menggambarkan insiden kontroversi nilai, atau disscusing sebuah insiden dalam kehidupan para siswa, sekolah, atau masyarakat. langkah kedua dalam mengorientasikan siswa untuk kasus ini untuk meninjau fakta-fakta dengan menguraikan peristiwa dalam kasus ini, menganalisis siapa melakukan apa dan mengapa, atau bertindak keluar kontroversi
Dalam fase dua, studens mensintesis fakta menjadi isu publik, mencirikan nilai yang terlibat (misalnya, kebebasan berbicara, melindungi kesejahteraan umum, otonomi daerah, atau kesempatan yang sama), dan mengidentifikasi konflik antara nilai-nilai. pada fase dua yang pertama, para siswa belum diminta untuk mengekspresikan pendapat mereka atau mengambil sikap.
Dalam fase tiga, mereka diminta untuk mengartikulasikan posisi tentang masalah ini dan negara dasar untuk posisi mereka. Dalam kasus keuangan sekolah, misalnya, siswa mungkin mengambil posisi bahwa negara seharusnya tidak mengatur berapa banyak setiap distrik sekolah dapat dibelanjakan pada masing-masing anak karena ini akan merupakan suatu pelanggaran tidak dapat diterima otonomi daerah.
Dalam fase empat, posisi dieksplorasi. guru sekarang bergeser ke gaya konfrontatif karena ia probe posisi siswa. dalam memberlakukan peran Socrates, guru (atau mahasiswa) dapat menggunakan salah satu dari empat pola argumentasion.
Meskipun eksplorasi dialog sikap konfrontatif siswa 'adalah jantung dari model inguiry yurisprudensi, beberapa kegiatan lainnya sangat penting, seperti membantu para siswa merumuskan sikap mereka akhirnya membela dan membantu mereka merevisi posisi mereka setelah argumentasi tersebut. model dasar meliputi enam fase
Dalam fase satu, guru memperkenalkan siswa untuk bahan kasus dengan membaca sebuah cerita atau narasi sejarah keras-keras, menonton film yang menggambarkan insiden kontroversi nilai, atau disscusing sebuah insiden dalam kehidupan para siswa, sekolah, atau masyarakat. langkah kedua dalam mengorientasikan siswa untuk kasus ini untuk meninjau fakta-fakta dengan menguraikan peristiwa dalam kasus ini, menganalisis siapa melakukan apa dan mengapa, atau bertindak keluar kontroversi
Dalam fase dua, studens mensintesis fakta menjadi isu publik, mencirikan nilai yang terlibat (misalnya, kebebasan berbicara, melindungi kesejahteraan umum, otonomi daerah, atau kesempatan yang sama), dan mengidentifikasi konflik antara nilai-nilai. pada fase dua yang pertama, para siswa belum diminta untuk mengekspresikan pendapat mereka atau mengambil sikap.
Dalam fase tiga, mereka diminta untuk mengartikulasikan posisi tentang masalah ini dan negara dasar untuk posisi mereka. Dalam kasus keuangan sekolah, misalnya, siswa mungkin mengambil posisi bahwa negara seharusnya tidak mengatur berapa banyak setiap distrik sekolah dapat dibelanjakan pada masing-masing anak karena ini akan merupakan suatu pelanggaran tidak dapat diterima otonomi daerah.
Dalam fase empat, posisi dieksplorasi. guru sekarang bergeser ke gaya konfrontatif karena ia probe posisi siswa. dalam memberlakukan peran Socrates, guru (atau mahasiswa) dapat menggunakan salah satu dari empat pola argumentasion.
Fase lima terdiri dari penyulingan dan kualifikasi
posisi. fase ini sering mengalir secara alami dari dialog di fase empat, namun
sometmes guru mungkin perlu meminta siswa untuk menyatakan kembali posisi
mereka.
Sementara fase lima menjelaskan penalaran dalam posisi nilai, fase enam tes lebih lanjut posisi dengan mengidentifikasi asumsi-asumsi faktual di balik itu dan memeriksa dengan hati-hati. guru membantu siswa memeriksa apakah posisi mereka terus di bawah kondisi yang paling ekstrim yang bisa dibayangkan.
Enam tahap dari model penyelidikan yurisprudensi dapat dibagi menjadi anaslysis (fase satu, dua, dan tiga) dan argumentasi (fase empat, lima, dan enam). kegiatan analisis, yang terjadi dalam bentuk diskusi hati-hati nilai dan isu-isu, mempersiapkan materi untuk eksplorasi. argumentasi, dilakukan dalam gaya konfrontatif, berusaha untuk menghasilkan sikap yang mungkin paling kuat
Sementara fase lima menjelaskan penalaran dalam posisi nilai, fase enam tes lebih lanjut posisi dengan mengidentifikasi asumsi-asumsi faktual di balik itu dan memeriksa dengan hati-hati. guru membantu siswa memeriksa apakah posisi mereka terus di bawah kondisi yang paling ekstrim yang bisa dibayangkan.
Enam tahap dari model penyelidikan yurisprudensi dapat dibagi menjadi anaslysis (fase satu, dua, dan tiga) dan argumentasi (fase empat, lima, dan enam). kegiatan analisis, yang terjadi dalam bentuk diskusi hati-hati nilai dan isu-isu, mempersiapkan materi untuk eksplorasi. argumentasi, dilakukan dalam gaya konfrontatif, berusaha untuk menghasilkan sikap yang mungkin paling kuat
Sintaks Model yurisprudensi
1. Orientasi untuk kasus
2. Mengidentifikasi masalah
3. Mengambil posisi
4. Menjelajahi sikap yang mendasari posisi yang diambil
5. Refining dan kualifikasi posisi
6. Pengujian asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi.
Reaksi
• Mempertahankan iklim intelektual yang kuat di mana semua pandangan dihormati; menghindari evaluasi langsung pendapat siswa.
• Lihat bahwa isu-isu yang benar-benar dieksplorasi
• Substansi berpikir siswa melalui pertanyaan relevansi, konsistensi, spesifisitas, umum, kejelasan definisi, dan kontinuitas.
1. Orientasi untuk kasus
2. Mengidentifikasi masalah
3. Mengambil posisi
4. Menjelajahi sikap yang mendasari posisi yang diambil
5. Refining dan kualifikasi posisi
6. Pengujian asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi.
Reaksi
• Mempertahankan iklim intelektual yang kuat di mana semua pandangan dihormati; menghindari evaluasi langsung pendapat siswa.
• Lihat bahwa isu-isu yang benar-benar dieksplorasi
• Substansi berpikir siswa melalui pertanyaan relevansi, konsistensi, spesifisitas, umum, kejelasan definisi, dan kontinuitas.
C. SISTEM SOSIAL
Struktur dalam model ini berkisar dari
tinggi ke rendah, guru para
inisiat fase; bergerak dari fase ke fase, bagaimanapun,
adalah tergantung pada kemampuan siswa untuk
menyelesaikan tugas. setelah exprerience dengan model siswa harus mampu melaksanakan proses tanpa bantuan. sehingga mendapatkan kontrol yang maksimum dari proses.
iklim sosial yang kuat dan konfrontatif
D.
PRINSIP-PRINSIP REAKSI
Reaksi guru, terutama di fase empat dan lima, tidak evaluatif dalam arti yang menyetujui atau substansi disaproving.they probe: guru bereaksi terhadap komentar siswa dengan mempertanyakan relevansi, konsistensi, spesifisitas atau umum, dan kejelasan definisi '. guru juga memberlakukan kontinuitas pemikiran, sehingga satu melalui atau garis penalaran yang diupayakan untuk conclucions logis sebelum argumentasi lainnya dimulai.
Untuk memainkan peran ini dengan baik, guru harus mengantisipasi klaim mahasiswa nilai dan harus siap untuk menantang dan probe. dalam peran Socrates, guru probe pendapat satu mahasiswa di panjang sebelum menantang siswa lain. karena dialog Socrates dengan mudah dapat menjadi mengancam pemeriksaan silang atau permainan "menebak apa jawaban yang benar guru" guru harus menjelaskan bahwa klarifikasi masalah dan pengembangan posisi yang paling dipertahankan adalah tujuan. mempertanyakan tiang bukti dan diperkuat dengan assumtions supportiveness.the manfaat dari kasus tersebut, bukan dari siswa, merupakan dasar untuk evaluasi.
Reaksi guru, terutama di fase empat dan lima, tidak evaluatif dalam arti yang menyetujui atau substansi disaproving.they probe: guru bereaksi terhadap komentar siswa dengan mempertanyakan relevansi, konsistensi, spesifisitas atau umum, dan kejelasan definisi '. guru juga memberlakukan kontinuitas pemikiran, sehingga satu melalui atau garis penalaran yang diupayakan untuk conclucions logis sebelum argumentasi lainnya dimulai.
Untuk memainkan peran ini dengan baik, guru harus mengantisipasi klaim mahasiswa nilai dan harus siap untuk menantang dan probe. dalam peran Socrates, guru probe pendapat satu mahasiswa di panjang sebelum menantang siswa lain. karena dialog Socrates dengan mudah dapat menjadi mengancam pemeriksaan silang atau permainan "menebak apa jawaban yang benar guru" guru harus menjelaskan bahwa klarifikasi masalah dan pengembangan posisi yang paling dipertahankan adalah tujuan. mempertanyakan tiang bukti dan diperkuat dengan assumtions supportiveness.the manfaat dari kasus tersebut, bukan dari siswa, merupakan dasar untuk evaluasi.
E.
SISTEM PENDUKUNG
Bahan utama mendukung untuk model ini adalah dokumen sumber yang berfokus pada situasi masalah. ada beberapa bahan kasus dipublikasikan, namun relatif mudah untuk mengembangkan bahan sendiri kasus. fitur distiquishing dari pendekatan ini adalah bahwa kasus-kasus rekening nyata atau hipotetis situations.it adalah penting bahwa semua fakta partinent situasi harus dimasukkan dalam materi kasus sehingga kasus tersebut tidak akan kabur dan frustasi
Kasus kontroversial menggambarkan situasi tertentu yang memiliki etika yang saling bertentangan, kasus interpretations.the hukum, faktual, atau definisi dapat terdiri dari suatu situasi sejarah atau hukum klasik, seperti v.ferguson plessy dalam hubungan ras, atau Undang-Undang Wagner atau serangan Kohler dalam hubungan kerja, atau mungkin cerita pendek atau account fiksi dari kontroversi sosial, seperti Animal Farm karya Orwell. umumnya, setiap halaman surat kabar harian berisi tiga atau empat artikel yang baik secara eksplisit maupun implisit menyajikan pertanyaan-pertanyaan kebijakan publik penting. biasanya beberapa fakta situasi disajikan tetapi situasi asli yang memicu kontroversi ini tidak dijelaskan secara rinci penuh
Bahan utama mendukung untuk model ini adalah dokumen sumber yang berfokus pada situasi masalah. ada beberapa bahan kasus dipublikasikan, namun relatif mudah untuk mengembangkan bahan sendiri kasus. fitur distiquishing dari pendekatan ini adalah bahwa kasus-kasus rekening nyata atau hipotetis situations.it adalah penting bahwa semua fakta partinent situasi harus dimasukkan dalam materi kasus sehingga kasus tersebut tidak akan kabur dan frustasi
Kasus kontroversial menggambarkan situasi tertentu yang memiliki etika yang saling bertentangan, kasus interpretations.the hukum, faktual, atau definisi dapat terdiri dari suatu situasi sejarah atau hukum klasik, seperti v.ferguson plessy dalam hubungan ras, atau Undang-Undang Wagner atau serangan Kohler dalam hubungan kerja, atau mungkin cerita pendek atau account fiksi dari kontroversi sosial, seperti Animal Farm karya Orwell. umumnya, setiap halaman surat kabar harian berisi tiga atau empat artikel yang baik secara eksplisit maupun implisit menyajikan pertanyaan-pertanyaan kebijakan publik penting. biasanya beberapa fakta situasi disajikan tetapi situasi asli yang memicu kontroversi ini tidak dijelaskan secara rinci penuh
F.
PENGAJARAN MODEL YURISPRUDENSI
• Menjaga gaya dialektis; Gunakan dialog konfrontatif, mempertanyakan asumsi siswa dan menggunakan contoh yang spesifik (analogi) untuk lebih berfariasi dengan laporan yang umum.
• Hindari mengambil sikap keras kepala. Konteks untuk mengeksplorasi situasi dari peristiwa sejarah Untuk menjelajahi adanya nilai hukum.
Peran Guru
Peran guru selama latihan ini sangatlah penting. Siswa sebagai peneliti, juga mendiskusikan, dan berdebat, guru harus mendorong siswa untuk melibatkan diri ke satu sisi masalah ini, tapi akan mendukung jika mereka berubah pikiran ketika dihadapkan dengan bukti baru, dan mendorong mereka untuk mempertimbangkan sudut pandang lain. Pada tiap saat, guru harus tetap netral terhadap masalah ini, mendorong diferensiasi posisi, dan mempromosikan sintesis dari posisi yang berbeda yang disajikan di depan kelas.
• Menjaga gaya dialektis; Gunakan dialog konfrontatif, mempertanyakan asumsi siswa dan menggunakan contoh yang spesifik (analogi) untuk lebih berfariasi dengan laporan yang umum.
• Hindari mengambil sikap keras kepala. Konteks untuk mengeksplorasi situasi dari peristiwa sejarah Untuk menjelajahi adanya nilai hukum.
Peran Guru
Peran guru selama latihan ini sangatlah penting. Siswa sebagai peneliti, juga mendiskusikan, dan berdebat, guru harus mendorong siswa untuk melibatkan diri ke satu sisi masalah ini, tapi akan mendukung jika mereka berubah pikiran ketika dihadapkan dengan bukti baru, dan mendorong mereka untuk mempertimbangkan sudut pandang lain. Pada tiap saat, guru harus tetap netral terhadap masalah ini, mendorong diferensiasi posisi, dan mempromosikan sintesis dari posisi yang berbeda yang disajikan di depan kelas.
G.
APLIKASI
Dalam mengembangkan kerangka alternatif mereka untuk mengajar kursus ilmu sosial di sekolah tinggi, akibatnya, model tersebut memberikan kerangka kerja untuk mengembangkan isi kursus kontemporer dalam urusan publik (kasus yang melibatkan isu-isu publik) dan untuk mengembangkan sebuah proses untuk menangani konflik dalam domain publik, yang menyebabkan siswa untuk suatu pemeriksaan nilai
Model disesuaikan dengan siswa yang lebih tua dan harus dimodifikasi cukup untuk digunakan di sekolah menengah pertama dan tingkat menengah sekolah, bahkan dengan siswa yang paling mampu. kita telah berhasil melaksanakan model dengan siswa tujuh dan kelas delapan yang sangat mampu, tetapi memiliki sedikit keberhasilan dengan anak muda.
dialog konfrontatif yang mengelilingi argumentasi masalah sosial cenderung akan mengancam pada awalnya, terutama untuk kurang verbal siswa. kami memiliki kelompok kecil (tiga atau empat siswa) merumuskan berdiri dan secara kolektif berpendapat berdiri dengan kelompok lain kecil. format memungkinkan untuk keluar waktu, mengevaluasi ulang sikap dengan satu kelompok, dan mendiskusikan masalah-masalah lagi, awalnya, kami mempresentasikan kasus tersebut, dan setelah siswa telah memilih isu kebijakan, kami meminta mereka untuk mengambil stand.on awal dasar ini kami dibagi mereka menjadi kelompok-kelompok kecil dan mengatakan kepada setiap kelompok untuk datang dengan kasus terkuat mungkin. siswa memahami bahwa terlepas dari kelompok mereka berada di pada awalnya, mereka mungkin memilih sikap yang berbeda pada akhir diskusi
baik keterampilan penalaran maupun kepercayaan diri untuk mengambil sikap dan diskusikan diperoleh dengan mudah atau dengan cepat. guru harus membiarkan kasus tunggal terus untuk jangka waktu yang panjang, memberikan siswa kesempatan untuk memperoleh informasi, merefleksikan ide-ide mereka, dan membangun keberanian mereka. itu adalah mengalahkan diri sendiri untuk mengatur pendek, satu kali sesi perdebatan lengkap instruksional questions.Formal mengajar siswa secara langsung tentang teknik analitik dan argumentatif mungkin berguna, tapi ini harus diperkenalkan secara alami dan bahan slowly.the kasus awal harus relatif sederhana dan memerlukan latar belakang sebelumnya sedikit. beberapa harus ditarik dari students'expriences, mungkin di kelas atau di home.there adalah sumber banyak sekali kasus yang telah diadaptasi untuk digunakan sekolah. Pendidikan majalah sosial Sering berisi review. Konsorsium Ilmu Pendidikan Sosial telah mengembangkan sejumlah kasus bersejarah dengan materi latar belakang yang luas (Giese, 1988; Glade dan Giese, 1989; Greenawald, 1991). Banyak Jackdaws mengandung bahan yang cocok untuk kelas atas dan schools.At sekunder Ontario Institut studi di pendidikan. sejumlah anggota fakultas, terutama Malcolm Levin dan John isenberg, telah mengembangkan kasus yang menarik untuk digunakan dengan model inquiri yurisprudensi. Banyak dari kasus-kasus ini diatur dalam canada dan dapat cukup menarik bagi siswa tidak hanya karena masalah yang sangat baik tetapi karena konteks yang agak berbeda dan sistem hukum. di samping itu, publikasi mereka, etika dalam pendidikan, meliputi sejumlah besar isu yang dapat merangsang perkembangan kasus dan studi Insttitute Ontario publik issues.
Dalam mengembangkan kerangka alternatif mereka untuk mengajar kursus ilmu sosial di sekolah tinggi, akibatnya, model tersebut memberikan kerangka kerja untuk mengembangkan isi kursus kontemporer dalam urusan publik (kasus yang melibatkan isu-isu publik) dan untuk mengembangkan sebuah proses untuk menangani konflik dalam domain publik, yang menyebabkan siswa untuk suatu pemeriksaan nilai
Model disesuaikan dengan siswa yang lebih tua dan harus dimodifikasi cukup untuk digunakan di sekolah menengah pertama dan tingkat menengah sekolah, bahkan dengan siswa yang paling mampu. kita telah berhasil melaksanakan model dengan siswa tujuh dan kelas delapan yang sangat mampu, tetapi memiliki sedikit keberhasilan dengan anak muda.
dialog konfrontatif yang mengelilingi argumentasi masalah sosial cenderung akan mengancam pada awalnya, terutama untuk kurang verbal siswa. kami memiliki kelompok kecil (tiga atau empat siswa) merumuskan berdiri dan secara kolektif berpendapat berdiri dengan kelompok lain kecil. format memungkinkan untuk keluar waktu, mengevaluasi ulang sikap dengan satu kelompok, dan mendiskusikan masalah-masalah lagi, awalnya, kami mempresentasikan kasus tersebut, dan setelah siswa telah memilih isu kebijakan, kami meminta mereka untuk mengambil stand.on awal dasar ini kami dibagi mereka menjadi kelompok-kelompok kecil dan mengatakan kepada setiap kelompok untuk datang dengan kasus terkuat mungkin. siswa memahami bahwa terlepas dari kelompok mereka berada di pada awalnya, mereka mungkin memilih sikap yang berbeda pada akhir diskusi
baik keterampilan penalaran maupun kepercayaan diri untuk mengambil sikap dan diskusikan diperoleh dengan mudah atau dengan cepat. guru harus membiarkan kasus tunggal terus untuk jangka waktu yang panjang, memberikan siswa kesempatan untuk memperoleh informasi, merefleksikan ide-ide mereka, dan membangun keberanian mereka. itu adalah mengalahkan diri sendiri untuk mengatur pendek, satu kali sesi perdebatan lengkap instruksional questions.Formal mengajar siswa secara langsung tentang teknik analitik dan argumentatif mungkin berguna, tapi ini harus diperkenalkan secara alami dan bahan slowly.the kasus awal harus relatif sederhana dan memerlukan latar belakang sebelumnya sedikit. beberapa harus ditarik dari students'expriences, mungkin di kelas atau di home.there adalah sumber banyak sekali kasus yang telah diadaptasi untuk digunakan sekolah. Pendidikan majalah sosial Sering berisi review. Konsorsium Ilmu Pendidikan Sosial telah mengembangkan sejumlah kasus bersejarah dengan materi latar belakang yang luas (Giese, 1988; Glade dan Giese, 1989; Greenawald, 1991). Banyak Jackdaws mengandung bahan yang cocok untuk kelas atas dan schools.At sekunder Ontario Institut studi di pendidikan. sejumlah anggota fakultas, terutama Malcolm Levin dan John isenberg, telah mengembangkan kasus yang menarik untuk digunakan dengan model inquiri yurisprudensi. Banyak dari kasus-kasus ini diatur dalam canada dan dapat cukup menarik bagi siswa tidak hanya karena masalah yang sangat baik tetapi karena konteks yang agak berbeda dan sistem hukum. di samping itu, publikasi mereka, etika dalam pendidikan, meliputi sejumlah besar isu yang dapat merangsang perkembangan kasus dan studi Insttitute Ontario publik issues.
APLIKASI AKHIR
Tahap akhir dari model ini adalah fase yang paling penting. Dalam fase ini bahwa siswa mengambil apa yang telah dipelajari dan menerapkannya ke lingkungan mereka. Siswa harus mampu melihat nilai dalam ilmu yang telah mereka pelajari dan melihat bahwa dengan pengetahuan ini mereka dapat memiliki dampak yang muncul.
Langkah pertama dari proses ini adalah untuk setiap siswa mengusulkan sebuah rencana aksi secara keseluruhan dengan resolusi. Beberapa cara siswa telah menerapkan apa yang telah mereka pelajari dan menjadi terlibat dalam kegiatan masyarakat meliputi:
• Menulis surat kepada dewan kota, perwakilan negara, negara senator, gubernur, atau walikota.
• Terkemuka atau berpartisipasi dalam kegiatan seperti pembersihan masyarakat, kegiatan daur ulang, atau petition drives.
• Menghadiri pertemuan atau rapat dewan kota lingkungan lokal
Apa pun tindakan siswa mengambil harus dinilai dalam keterangan laporan rencana aksi mereka.
Kunci untuk model instruksi adalah bahwa siswa mendapat kesempatan untuk menerapkan keterampilan penyidikan dan strategi tindakan untuk masyarakat dimana mereka tinggal.
Model ini diracang untuk siswa SLTP ke atas. Bagi siswa yang kelasnya lebih rendah harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadi perdebatan kritis yang seru. Perdebatan kritis pada awalnya sangat menakutkan bagi siswa, terutama bagi mereka yang pendiam. Untuk mengatasi hal ini, guru sebaiknya tidak melakukan perdebatan dengan dirinya. Sebaiknya siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil dan saling berargumentasi mempertahankan sikap masing-masing terhadap isu-isu sosial yang sedang dibahas.
H. ORIENTASI MODEL
Model pembelajaran yang dipelopori oleh Donald Oliver dan James P. Shaver ini didasarkan atas pemahaman masyarakat di mana setiap orang berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain, di mana nilai-nilai sosialnya saling berkonfrontasi satu sama lain. Memecahkan masalah kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang produktif membutuhkan warga negara yang mampu berbicara satu sama lain dan bernegosiasi tentang keberbedaan tersebut.
I. PROSEDUR PEMBELAJARAN
Biasanya, kunci utama keberhasilan model ini adalah melalui Metode Dialog Sokrates (debat konfrontatif). Langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi enam langkah yaitu, (1) orientasi terhadap kasus (2) mengidentifikasi isu (3) pengambilan posisi (sikap), (4) menggali argumentasi untuk mendukung posisi (sikap) yang telah diambil (5) memperjelas ulang dan memperkuat posisi (sikap), dan (6) menguji asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi.
Tahap akhir dari model ini adalah fase yang paling penting. Dalam fase ini bahwa siswa mengambil apa yang telah dipelajari dan menerapkannya ke lingkungan mereka. Siswa harus mampu melihat nilai dalam ilmu yang telah mereka pelajari dan melihat bahwa dengan pengetahuan ini mereka dapat memiliki dampak yang muncul.
Langkah pertama dari proses ini adalah untuk setiap siswa mengusulkan sebuah rencana aksi secara keseluruhan dengan resolusi. Beberapa cara siswa telah menerapkan apa yang telah mereka pelajari dan menjadi terlibat dalam kegiatan masyarakat meliputi:
• Menulis surat kepada dewan kota, perwakilan negara, negara senator, gubernur, atau walikota.
• Terkemuka atau berpartisipasi dalam kegiatan seperti pembersihan masyarakat, kegiatan daur ulang, atau petition drives.
• Menghadiri pertemuan atau rapat dewan kota lingkungan lokal
Apa pun tindakan siswa mengambil harus dinilai dalam keterangan laporan rencana aksi mereka.
Kunci untuk model instruksi adalah bahwa siswa mendapat kesempatan untuk menerapkan keterampilan penyidikan dan strategi tindakan untuk masyarakat dimana mereka tinggal.
Model ini diracang untuk siswa SLTP ke atas. Bagi siswa yang kelasnya lebih rendah harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadi perdebatan kritis yang seru. Perdebatan kritis pada awalnya sangat menakutkan bagi siswa, terutama bagi mereka yang pendiam. Untuk mengatasi hal ini, guru sebaiknya tidak melakukan perdebatan dengan dirinya. Sebaiknya siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil dan saling berargumentasi mempertahankan sikap masing-masing terhadap isu-isu sosial yang sedang dibahas.
H. ORIENTASI MODEL
Model pembelajaran yang dipelopori oleh Donald Oliver dan James P. Shaver ini didasarkan atas pemahaman masyarakat di mana setiap orang berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain, di mana nilai-nilai sosialnya saling berkonfrontasi satu sama lain. Memecahkan masalah kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang produktif membutuhkan warga negara yang mampu berbicara satu sama lain dan bernegosiasi tentang keberbedaan tersebut.
I. PROSEDUR PEMBELAJARAN
Biasanya, kunci utama keberhasilan model ini adalah melalui Metode Dialog Sokrates (debat konfrontatif). Langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi enam langkah yaitu, (1) orientasi terhadap kasus (2) mengidentifikasi isu (3) pengambilan posisi (sikap), (4) menggali argumentasi untuk mendukung posisi (sikap) yang telah diambil (5) memperjelas ulang dan memperkuat posisi (sikap), dan (6) menguji asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi.
Strategi Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial
Kali ini saya akan berbagi
informasi mengenai salah satu strategi pembelajaran yang jarang sekali
digunakan dan diterapkan di dalam proses pembelajaran si sekolah, yang menurut
saya adalah salah satu strategi pembelajaran yang sangat berguna untuk
meningkatkan kemampuan berfikir (kognitif) peserta didik (siswa). Strategi
pembelajaran yang saya maksud adalah strategi pembelajaran Inkuiri
Jurisprudensial. berikut penjelasannya.
1. Pengertian
Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial
Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis
besar haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah
ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi biasa diartikan
sebagai pola umum perbuatan guru rnurid dalam perwujudan belajar mengajar untuk
mencapai tujuan yang, digariskan” (Mansyur, 2002:3).
Oemar Hamalik (2003:12) mengatakan bahwa “pengertian strategi
dalam proses belajar mengajar sudah tentu mengandung makna yang berbeda dengan
pengertiannya dalam bidang kemiliteran karena dalam pengajaran, strategi
mengandung makna sebagai suatu upaya untuk mengurangi sampai titik minimal
penggunaan metode ceramah dengan siswa yang aktif seperti seminar kelompok-
proyek kerja kelompok”.
Strartegi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial (Jurisprudential inquiry) adalah
strategi pembelajaran yang dipelopori dan dikembangkan oleh Donal Oliver dan
James P.Shaver. Menurut Donal Oliver dan James P. Shaver (dalam Wena, 2009:71),
strategi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial mengajari siswa untuk
menganalisis dan berfikir secara sistematis dan kritis terhadap isu-isu yang
sedang hangat di masyarakat. Strategi pembeajaran ini didasarkan atas pemahaman
masyarakat dimana setiap orang berbeda pandangan dari prioritas satu sama lain,
dan nilai-nilai sosialnya saling berkronfrontasi satu sama lain. Memecahkan
masalah kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang
produktif membutuhkan warga negara yang mampu berbicara satu sama lain dan
bernegosiasi tentang keberbedaan tersebut.
Strategi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial mengajarkan
siswa untuk berfikir kritis terhadap isu-isu sosial. Hitchcock (dalam Robert E. Slavin, 1994: 258) mengatakan
bahwa “one key
objective of schooling is enhancing students abilities to think critically, to
make rational decisions about what to believe.” Salah
satu tujuan utama dari pendidikan adalah meningkatkan kemampuan siswa untuk
berpikir kritis, untuk membuat keputusan yang rasional tentang apa yang harus
percaya. Allyn
and Bacon (2009:243) menjelaskan bahwa strategi-strategi pembelajaran inkuiri
menggunakan proses-proses dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan
masalah-masalah berdasarkan pada pengujian logis atas fakta-fakta dan
observasi-observasi untuk mengajarkan konten dan untuk membantu siswa berfikir
secara analitis. Pembelajaran inkuiri dimulai dengan memberi siswa
masalah-masalah yang berhubungan dengan konten yang nantinya menjadi fokus
untuk aktifitas-aktifitas penelitian kelas. Dalam menyelesaikan masalah siswa
menghasilkan hipotesis atau solusi tentatif untuk masalah tersebut,
mengumpulkan data yang relevan dengan hipotesis yang telah dibuat, dan
mengevaluasi data tersebut untuk sampai kepada kesimpulan. Melalui pembelajaran
inkuiri, siswa mempelajari konten yang berhubungan dengan masalah tersebut
sekaligus strategi-strategi untuk memecahkan masalah-masalah di masa yang akan
datang.
Hamzah B. Uno (2007:31) mengemukakan bahwa “strategi
pembelajaran inkuiri jurisprudensial membantu siswa untuk belajar berpikir
secara sistematis tentang isu-isu kontemporer yang sedang terjadi dalam
masyarakat”. Dengan memberikan mereka cara-cara menganalisis dan mendiskusikan
isu-isu sosial, strategi pembelajaran ini membantu siswa untuk berpartisipasi
dalam mendefinisikan ulang nilai-nilai sosial. Selain itu, strategi
pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial melatih siswa untuk peka terhadap
permasalahan sosial, mengambil posisi (sikap) terhadap permasalahan tersebut,
serta mempertahankan sikap tersebut dengan argumentasi yang relevan dan valid.
Strategi ini juga dapat mengajarkan siswa untuk dapat menerima atau menghargai
sikap orang lain terhadap suatu masalah yang mungkin bertentangan dengan sikap
yang ada pada dirinya. Atau sebaliknya, ia bahkan menerima dan mengakui
kebenaran sikap orang lain yang diambil terhadap suatu isu sosial tertentu.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial adalah strategi pembelajaran yang
mengajari siswa untuk menganalisis dan berfikir secara sistematis dan kritis
terhadap isu-isu yang sedang hangat di masyarakat serta mampu memecahkan
masalah kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang
produktif. Penerapan strategi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial lebih cocok
diterapakan pada siswa SMA maupun SMK yang memiliki perkembangan daya nalar
yang lebih baik dibandingkan dengan usia anak dibawahnya. Pelaksanaan Strategi
Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial hendaknya diterapkan pada materi-materi
yang relevan dan aktual , atau kasus-kasus yang masih hangat terjadi .
2. Langkah-Langkah Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial
Strategi pembelajaran yang dipelopori oleh Donal Oliver dan
James P. Shaver ini didasarkan atas pemahaman masyarakat dimana setiap orang
berbeda pandangan dari prioritas satu sama lain, dan nilai-nilai sosialnya
saling berkronfrontasi satu sama lain. Memecahkan masalah kompleks dan
kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang produktif membutuhkan warga
negara yang mampu berbicara satu sama lain dan bernegosiasi tentang keberbedaan
tersebut.
Made Wena (2009:132) mengemukakan langkah-langkah
pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial meliputi:
a. orientasi terhadap kasus;
b. mengidentifikasi isu;
c. pengambilan posisi (sikap);
d. menggali argumentasi untuk
mendukung posisi (sikap) yang telah diambil;
e. memperjelas ulang dan
memperkuat posisi (sikap); dan
f. menguji asumsi tentang
fakta, definisi, dan konsekuensi.
Untuk lebih memahami langkah-langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Orientasi Kasus/Permasalahan
Pada tahap ini guru mengajukan kasus dengan membacakan kasus
yang terjadi, memperlihatkan film/video kasus, atau mendiskusikan suatu kasus yang
sedang hangat di masyarakat atau kasus di sekolah. Langkah berikutnya adalah
meninjau fakta –fakta dengan jalan melakukan analisis, siapa yang terlibat,
mengapa bisa terjadi, dan sebagainya.
Guru memperkenalkan kepada siswa materi-materi kasus dengan cara
membaca berita, menonton film yang menggambarkan konflik nilai, atau
mendiskusikan kejadian-kejadian hangat dalam kehidupan sekitar, kehidupan
sekolah atau suatu komunitas masyarakat. Langkah kedua yang termasuk ke dalam
tahap orientasi adalah mengkaji ulang fakta-fakta dengan menggambarkan
peristiwa dalam kasus, menganalisiss siapa yang melakukan apa, dan mengapa
terjadi seperti demikian.
b.
Identifikasi Isu
Pada tahap ini siswa dibimbing untuk mensintesis fakta-fakta
yang ada kedalam sebuah isu yang sedang dibahas, kaitannya dengan kebijakan
publik, dan munculnya kontroversi di masyarakat, dan sebagainya, karekteristik
nilai-nilai yang terkait (seperti kemerdekaan berbicara, perlindungan terhadap
kesejahteraan umum, otonomi daerah/local, atau kesamaan memperoleh kesempatan),
melakukan identifikasi konflik terhadap nilai-nilai yang ada. Dalam tahap ini
siswa belum diminta untuk menentukan pendapatnya terhadap kasus yang dibahas.
Siswa mensintesis fakta, mengakitkannya dengan isu-isu umum
dan mengidentifikasi nilai-nilai yang terlibat dalam kasus tersebut (misalnya,
isu tersebut berkaitan dengan kebebasan mengemukakan pendapat, otonomi daerah,
persamaan hak dan lain-lain). siswa belum diminta mengekspresikan pendapat
terhadap kasus tersebut.
c.
Penetapan Posisi /Pendapat
Dalam tahap ini siswa mengartikulasikan/mengambil posisi
terhadap kasus yang ada. Siswa menyatakan posisinya terkait dengan nilai sosial
atau konsekuensi dari keputusannya. Siswa diminta untuk mengambil posisi (sikap/pendapat)
terhadap isu tersebut dan menyatakan sikapnya. Misalnya dalam kasus bayaran
uang sekolah, siswa menyatakan sikapnya bahwa seharusnya pemerintah tidak
menetukan besarnya biaya sekolah yang harus diberlakukan untuk tiap sekolah
karena hal itu melanggar hak otonomi sekolah.
d.
Menyelidiki Cara Berpendirian, Pola Argumentasi
Menetapkan keputusan pada bagian mana yang terjadi
pelanggaran nilai-nilai secara faktual. Ajukan bukti-bukti yang
diinginkan/tidak diinginkan (mendukung/tidak mendukng) sebagai konsekuensi dari
pandangan/pendapat yang diajukan. Berikan klarifikasi terhadap nilai-nilai
konflik dengan menggunakan analogi. Menetapkan prioritas dari satu nilai
(keputusan) di antara keputusan/nilai-nilai lainnya dan mengevaluasi kekurangan-kekurangan
dari nilai/keputusan yang lainnya.
e.
Memperbaiki dan Mengkualifikasi Jelas Posisi
Siswa menyatakan posisinya dan alasannya terhadap masalah,
dan menguji sejumlah situasi/kondisi yang mirip terhadap permasalahannya. Siswa
mengkualifikasi (terhadap standar) posisinya. sikap (posisi/pendapat) siswa
digali lebih dalam. Sikap (posisi) yang telah diambil siswa mungkin konsisten
(tetap bertahan) atau berubah (tidak konsisten), tergantung dari hasil atau
argumentasi yang terjadi pada tahap keempat. Jika argumen siswa kuat, mungkin
konsisten. Jika tidak, mungkin siswa mengubah sikapnya (posisinya).
f.
Melakukan Pengujian Asumsi-Asumsi Terhadap Posisinya
Siswa melakukan identifikasi asumsi-asumsi faktual dan
melihat relevansinya, serta menentukan konsekuensi yang diperkirakan dan
melakukan pengujian validitas faktualnya. pengujian asumsi faktual yang
mendasari sikap yang diambil siswa. Dalam tahap ini guru mendiskusikan apakah
argumentasi yang digunakan untuk mendukung pernyataan sikap tersebut relevan
dan sah (valid).
3. Keunggulan dan
Kelemahan Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial
a. Keunggulan
Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial
Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial merupakan strategi
pembelajaran yang banyak dianjurkan oleh karena strategi ini memiliki
keunggulan diantaranya :
1)
Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial merupakan strategi pembelajaran
yang menekankan pada pengembangan aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran
melalui strategi ini dianggap lebih bermakna.
2)
Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial dapat memberikan ruang kepada siswa
untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.
3)
Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial merupakan strategi pembelajaran
yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap
belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
4)
Keunggulan lain dari pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial adalah dapat
melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, yang artinya
siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa
yang lemah dalam belajar.
b. Kelemahan
Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial
Disamping memiliki keunggulan, Pembelajaran Inkuiri
Jurisprudensial juga memiliki kelemahan diantaranya :
1)
Jika Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial digunakan sebagai strategi
pembelajaran, maka akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
2)
Strategi ini sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur
dengan kebiasaan siswa dalam belajar.
3)
Terkadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang
sehingga sering guru sulit menyesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan.
4)
Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa
menguasai materi pembelajaran, maka pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial akan
sulit diimplementasikan oleh guru.
Semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman dan pengetahuan serta wawasan para pembaca semuanya :)
Semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman dan pengetahuan serta wawasan para pembaca semuanya :)
Referensi :
- Allyn dan Bacon (2009). Methods For Teaching, New Jersey: Pearson Education
- Uno, Hamzah B. (2007), Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
- Wena, M. (2010), Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara
- Bootzin R. (1986). Study Guide to Accompany Psychology Today An Introduction, New York: McGraw-Hill Book Company
5.
Sarbani. (2012). Model
Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral. Yogyakarta: Aswajaya Pressindo
6.
Sanjaya W. (2006). Strategi
Pembelajaran Berorientasi Stansar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
0 comments:
Post a Comment